Sunday, August 26, 2012

dari rekan Anto D


“Berhentilah berpikir mengenai keterbatasan Anda dan mulai berpikir tentang segala kemungkinan.”
—Terry Josephson


Delapan tahun yang lalu, bos saya, seorang pengusaha periklanan yang berbasis di Surabaya, Jawa Timur, yang sedang dirundung masalah penipuan ratusan juta rupiah yang diperbuat sejumlah orang—dengan berbagai kepentingan—atas dirinya, berkeluh-kesah ke saya. Dengan sengit dan bernada sinis, pemilik beberapa perusahaan yang sudah haji itu berujar ke saya, “Menurut Qur’an, Allah tidak akan menguji kita melampaui batas kemampuan kita. Lha, ujian ini, To, sudah melampaui batas kemampuanku tapi kok ya Allah masih aja mengujiku. Yang tau batas kemampuan kita kan kita sendiri, ya kan, To?!"

Saat itu, saya, yang duduk berhadap-hadapan dengan beliau di meja di ruang kerjanya yang luas dan nyaman di kantor sebuah biro iklan papan atas di Surabaya, sebenarnya punya pertanyaan yang sama: Sampai di mana batas kemampuan kita dalam menerima ujian hidup? Siapa yang sesungguhnya mengerti batas itu?

“Maaf, Pak, saya benar-benar nggak tahu jawaban atas pertanyaan Bapak barusan. Yang saya tahu, lantaran demikian disebutkan dalam Qur’an, Allah tidak pernah menyiksa hambaNya, melainkan hambaNya menganiaya dirinya sendiri,” kata saya sambil memutar otak, meraba-raba jawaban yang tepat atas pertanyaan bos saya tentang batas kemampuan manusia dalam menghadapi ujian hidup. Barangkali, di situlah batas kemampuan berpikir saya.

Ternyata itu adalah perkiraan yang terlalu dini—jika tidak bisa dikatakan sebagai “mendahului kehendak Tuhan”. Baik secara retrospektif maupun introspektif, berdasarkan pengalaman pribadi yang sudah maupun sedang saya lalui, ternyata kita tidak menyadari kemampuan kita yang sesungguhnya! Alam sudah membekali kita dengan berbagai potensi tanpa batas. Infinitas (ketakberhinggaan) inilah yang selalu saja membuat pikiran kita yang terbatas tak menyadari betapa tak terbatasnya kemampuan kita sesungguhnya. Kita tidak percaya diri, tidak mengenal diri kita yang sejati, serta menilai diri kita kelewat rendah, sehingga tanpa sadar kita mendegradasi ciptaan Tuhan yang sejatinya tidak bercacat.

Setiap manusia, paling tidak sekali dalam hidupnya, pernah berhadapan dengan kenyataan dari kemampuan pribadi yang ia tak sangka bahwa ia memilikinya. Beberapa tahun yang lalu, saya pernah didaulat untuk memberikan ceramah dalam sebuah majelis taklim ibu-ibu—sebuah kelompok pengajian yang saya sendiri belum pernah menghadirinya. Saya sendiri heran, kenapakok saya yang diminta, sementara secara lahir saja saya tidak punya tampang ustad atau orang yang berkompeten untuk menyampaikan ajaran agama Islam.  Tetapi, tidak ada titik balik; saya sudah telanjur berada di hadapan lima puluhan ibu-ibu yang mengharapkan pencerahan relijius dari saya. Sebelum saya mulai buka mulut, saya menenangkan diri, memohon kepada Tuhan agar diberi tuntunan.

Yang terjadi kemudian adalah kenyataan yang berada di luar jangkauan pikiran saya. Saya berceramah dengan lancar dan mudah, menyampaikan mutiara-mutiara hikmah tentang kehidupan yang Islami, lengkap dengan tuturan yang fasih tentang muatan Al Qur’an dan Hadis, sampai para peserta majelis taklim tersebut tidak berhenti memanggil saya “Pak Ustad”, meski saya berulang kali mengingatkan mereka bahwa saya bukan ustad.

Kejadian-kejadian semacam itu bukan sekali dua kali saya alami, melainkan berulang kali, hingga saya sampai pada kesimpulan, barusan ini, yang sekaligus menjawab pertanyaan saya, yang berdampak dari pertanyaan bos saya, delapan tahun lalu: Di mana batas kemampuan kita? Siapa yang tahu batas kemampuan kita?

Kemampuan kita menjadi terbatas lantaran itulah citra diri yang tercipta di pikiran kita. Tidak jarang kita sendiri sudah membatasi kemampuan kita lewat anggapan sepihak bahwa kita tidak punya ilmu dan pengetahuannya, tidak berpengalaman, tidak punya sarana pendukungnya, takut gagal, malu, tidak yakin, khawatir jadi bahan tertawaan, dan lain sebagainya. Semuanya bersumber dari pikiran negatif tentang diri kita sendiri. Sedangkan pengalaman pribadi saya membuktikan bahwa Tuhan saja yakin bahwa kita mampu, sehingga Dia memberi kita ujian hidup “sebatas” kemampuan kita, dan kemampuan itu tanpa batas!

Pikiran, atau citra diri negatif yang diciptakan olehnya, seringkali membuat kita cenderung menyanjung-sanjung orang lain, yang kita pandang memiliki kemampuan melebihi kita, sampai tidak menyadari bahwa itu semua karunia Tuhan untuk manusia. Perhatikan, deh, kelompok-kelompok spiritual yang berlebihan memuja tokoh pendiri atau pencetusnya, yang tak jarang membuat para pengikutnya cenderung melupakan Tuhan yang berada di balik kemampuan istimewa dari sang tokoh. Doktor Myles Monroe, dalam bukunya, Releasing Your Potential: Exposing the Hidden You (2007), mengungkapkan bahwa potensi yang dibekali Tuhan dalam diri kita itu melampaui apa yang kita sadari tentangnya, sehingga seringkali manusia telanjur mati tanpa pernah memaksimalkan kemampuan dirinya yang sejati. Kita cenderung percaya pada citra diri negatif yang diciptakan pikiran kita ketimbang pada janji Tuhan yang akan menyelamatkan kita dengan kasih-sayangNya.

Kelebihan mereka yang kita anggap manusia super hanya satu: Mereka tidak membiarkan diri terperangkap oleh citra diri yang menyatakan bahwa mereka tidak mampu. Mereka memuja Tuhan mereka dengan memanifestasi sebanyak mungkin potensi yang mereka miliki. Saya pernah menceritakan pengalaman spiritual saya kepada seorang kawan, yang serta-merta mengejek saya, “Emangnya lu nabi apa, sampai Tuhan ngasih lu kemampuan kayak gitu?!”

Anggapan dangkal dari kawan ini sempat menjerumuskan mental saya sampai ke dasar lubang nan gelap. Tetapi tidak lama kemudian, saya beroleh pemahaman: Bila Tuhan menghendaki maka jadilah; tidak peduli tukang becak atau pengusaha, orang melarat atau konglomerat, maling atau cendekiawan, kemampuan yang melampaui pikiran pribadi tentang citra dirinya dapat menjadi miliknya!

Jadi, di mana batas kemampuan kita? Batasnya adalah di mana citra diri negatif itu bercokol: Pikiran kita!©


Mampang Prapatan XI, Jakarta Selatan, 16 Agustus 2012, pukul 06.07 WIB 

No comments:

Post a Comment