Wednesday, January 23, 2019

Tuhan menurut Osho

02.39 Pertanyaan - Osho, Apa itu Allah? Osho - Prem Sukavi, Tuhan bukanlah manusia. Itu adalah salah satu kesalahpahaman terbesar, dan telah berlaku begitu lama yang hampir menjadi fakta. Bahkan jika suatu kebohongan diulang terus menerus selama berabad-abad, itu pasti akan muncul seolah-olah itu adalah kebenaran. Tuhan adalah kehadiran, bukan seseorang. Oleh karena itu, menyembah hanyalah kebodohan belaka. Prayerfulness (ritual) itu dibutuhkan, tapi bukan doa/meminta. Tidak Ada seorang pun yg dapat berdoa, tidak mungkin ada dialog antara Anda dan Tuhan. Dialog hanya mungkin antara dua orang, dan Tuhan bukanlah orang, tetapi Tuhan itu "kehadiran/keberadaan" - seperti kecantikan dan sukacita. Tuhan hanya bermakna kesalehan. Ini adalah fakta juga bahwa Buddha menyangkal keberadaan Tuhan. Dia ingin menekankan bahwa Allah adalah kualitas, pengalaman - cinta. Anda tidak dapat berbicara dengan cinta, Anda bisa hidup dengan itu. Anda tidak perlu membuat candi dari cinta, Anda tidak perlu membuat patung dari cinta, dan membungkuk ke patung-patung, perbuatan mereka akan hanya omong kosong. Dan itulah apa yang telah terjadi di gereja-gereja, di kuil-kuil, di masjid-masjid. Manusia telah hidup seperti ini seolah-olah menyepertikan Tuhan sebagai manusia, dan kemudian dua bencana telah terjadi melalui itu. Salah satunya adalah manusia religius yang menganggap Allah adalah suatu tempat di atas langit dan Anda harus memuji dia. untuk membujuk dia untuk memberikan nikmat pada Anda, untuk membantu Anda untuk memenuhi keinginan Anda, untuk membuat ambisi Anda berhasil, untuk memberikan kekayaan dunia ini dan dunia lainnya (akhirat). Dan ini adalah pemborosan belaka waktu dan energi. Di lain pihak, orang yang melihat kebodohan itu semua menjadi atheis, atau mereka mulai menyangkal keberadaan Tuhan. Mereka benar dalam pengertian tertentu, tapi mereka juga salah. Mereka mulai tidak hanya menyangkal keberadaan Allah, mereka mulai untuk menyangkal ke-alam-an Allah. Theis adalah salah, atheis itu juga salah, dan manusia membutuhkan sebuah visi baru sehingga dia bisa dibebaskan dari kedua penjara tsb. Allah adalah pengalaman akhir dari keheningan, keindahan, kebahagiaan, keadaan batin. Setelah Anda mulai melihat Tuhan sebagai kesalehan, akan ada perubahan radikal dalam pendekatan Anda. Maka do'a adalah tidak benar; tetapi sholat/meditasi menjadi benar. Martin Buber mengatakan doa adalah dialog, kemudian antara Anda dan Tuhan ada (”I-thou” relationship") hubungan aku-engkau" - dualitas terus berlanjut. Buddha jauh lebih dekat dengan kebenaran: anda cukup menjatuhkan semua celoteh pikiran, Anda tergelincir keluar dari pikiran seperti ular menyelinap keluar dari kulit tuanya. Anda menjadi sangat diam. Tidak ada pertanyaan tentang dialog apapun, tidak ada masalah apapun dgn monolog lagi. Kata-kata telah menghilang dari kesadaran Anda. Tidak ada keinginan untuk yang nikmat harus bertanya, tidak ada ambisi yang harus dipenuhi. Salah satunya adalah sekarang dan di sini. Dalam ketenangan itu, Anda menjadi sadar kualitas yang bercahaya untuk eksistensi. Kemudian pohon dan gunung-gunung dan sungai-sungai dan orang-orang semua dikelilingi dengan aura halus. Mereka semua memancarkan kehidupan, dan merupakan salah satu hidup dalam berbagai bentuk. Yang berbunga satu adanya dalam jutaan bentuk--dalam jutaan bunga. pengalaman INI adalah Tuhan. Dan itu adalah hak asasi semua orang, karena apakah Anda tahu atau tidak Anda sudah bagian dari itu. Satu-satunya kemungkinan adalah Anda mungkin tidak mengenali atau Anda dapat mengenalinya. Perbedaan antara orang yang tercerahkan dan orang kurang beradab tidak berkualitas - mereka berdua benar-benar sama. Hanya ada satu perbedaan kecil: bahwa orang yang tercerahkan menyadari, ia mengakui akhir yang meresapi keseluruhan, menembus keseluruhan, bergetar, berdenyut. Dia mengakui detak jantung alam semesta. Dia mengakui bahwa alam semesta tidak mati, itu adalah hidup, gairah ini adalah Allah! Orang yang kurang beradab sedang tidur, tertidur dan penuh impian. Mereka mimpi berfungsi sebagai penghalang, mereka tidak mengizinkan dia untuk melihat kebenaran realitas sendiri. Dan tentu saja, bila Anda bahkan tidak menyadari realitas Anda sendiri, bagaimana Anda bisa menyadari realitas orang lain? Pengalaman pertama terjadi dalam diri Anda. Setelah Anda telah melihat terang dalam diri, Anda akan dapat melihatnya di mana-mana. Allah harus dibebaskan dari semua konsep kepribadian. Kepribadian adalah penjara. Allah harus dibebaskan dari segala bentuk tertentu; hanya kemudian dia bisa memiliki semua bentuk. Dia harus dibebaskan dari nama tertentu sehingga semua nama menjadinya. Kemudian HIDUP seseorang dalam doa--dia tidak berdoa, dia tidak pergi ke kuil, ke gereja. Dimanapun dia duduk dia doa, apapun dia lakukan adalah doa, dan dalam prayerfulness bahwa ia menciptakan bait-Nya. Ia selalu bergerak dengan pelipisnya sekitarnya. Di mana pun ia duduk tempat itu menjadi suci, apapun dia menyentuh menjadi emas. Jika ia diam maka diam adalah emas, jika ia berbicara maka lagunya emas. Jika dia sendirian kesendirian adalah ilahi, jika ia berhubungan maka nya berhubungan adalah ilahi. Dasar, hal yang paling mendasar adalah untuk menyadari inti terdalam Anda sendiri, karena itu adalah rahasia dari seluruh keberadaan. Di situlah Upanishad adalah sangat penting. Mereka tidak berbicara tentang Allah, mereka berbicara tentang kesalehan. Mereka don t repot-repot tentang doa. penekanan pada keseluruhan ada di meditasi. Meditasi memiliki dua bagian: awal dan akhir. awal ini disebut dhyana dan akhirnya disebut samadhi. Dhyana adalah benih, samadhi adalah berbunga. Dhyana berarti menyadari semua kerja pikiran Anda, semua lapisan pikiran Anda - kenangan Anda, keinginan Anda, pikiran Anda, impian - menjadi sadar dari semua yang berlangsung dalam diri Anda. Dhyana adalah kesadaran, dan samadhi adalah ketika kesadaran telah menjadi begitu dalam, begitu mendalam, sehingga total bahwa itu adalah seperti api dan mengkonsumsi seluruh pikiran dan semua functionings nya. Mengkonsumsi pikiran, keinginan, ambisi, harapan, mimpi. Mengkonsumsi barang seluruh pikiran penuh. Samadhi adalah negara ketika kesadaran ada, tetapi tidak ada yang menyadari dalam diri Anda, saksi ada, tetapi tidak ada yang disaksikan. Mulailah dengan dhyana, dengan meditasi, dan berakhir pada samadhi, dalam ekstasi, dan Anda akan tahu apa yang Tuhan. Itu bukan hipotesis, itu adalah sebuah pengalaman. Anda harus menghidupkan itu - bahwa satu-satunya cara untuk tahu itu. Sumber: dari Osho Buku "I Am Itu"Tuhan

Guru Sejati ning Urip

GURU SEJATI NING URIP. [oleh padepokan Nurdjati pusat]. Manusia adalah mahluk spiritual.Maka kita patut bersyukur karena diciptakan sebagai manusia yang bisa melakukan apa saja dan bisa berpikir apa yang akan dilakukan.Manusia terdiri dari dua sifat yaitu bersifat fisik dan metafisik.Bukan saja bersifat fisik atau metafisik tetapi sekaligus dua menjadi satu. Manusia terdiri dari bagian ROHANI dan JASMANI.Bagian yang ROHANI adalah PRIBADI-NYA.Sedangkan bagian JASMANI adalah BADAN KASAR/MANUSIA –NYA. Bagian rohani inilah yang spiritual merupakan kenyataan sejati.Jasmani adalah badan kasar yang dipenuhi sifat ego dan segala hawa nafsu.Badan manusia inilah merupakan kerajaan ROH/URIP yang harus dikuasai oleh manusia,Maka dari itu badan manusia sering disebut JAGAD CILIK/MICRO COSMIC.Jika manusia sudah dapat menguasai jagad cilik ini maka dia telah menjadi SATRIYA SEJATI.Dalam dirinya telah mencapai satu kesatuan.Dengan demikian badannya akan mengalami proses SPIRITUALITASASI.Disitulah akan terjadi perkembangan yang selaras dan seimbang,karena bagian yang jasmani telah dapat dibentuk menurut kehendak rohani. Oleh karena itu KESADARAN FISIK adalah KESADARAN SEMENTARA. Kesadaran sesungguhnya adalah KESADARAN ROH/URIP.Itulah AKU SEJATI [INGSUN/URIP].Oleh karena itu apa yang diinginkan kesadaran fisik tidak selamanya sama dengan kesadaran roh [aku sejati].Karena itu jika kita ingin melakukan sesuatu,tunggulah dan rasakanlah apakah betul diri sejati yang menginginkan?.Sebab yang namanya DIRI SEJATI itu sesungguhnya adalah ROH/ INGSUN [hindu menyebut ATMA].Dengan kata lain ROH = INGSUN = YANG MELIPUTI JAGAD RAYA = YA URIP = ATMA.DIRI SEJATI inilah yang sebagai radar RASA SEJATI.Supaya kita tahu petunjuk-petunjuk SANG GURU SEJATI dengan baik dan tepat.Maka dari itu kita perlu menjaga kepekaan rasa sejati,karena rasa sejati itu ibarat air dalam gelas yang harus selalu dijaga agar tetap TETAP BERSIH dan dalam KONDISI TENANG.Akibatnya kita akan dengan mudah mengetahui apa langkah-langkah yang tepat harus dilakukan.Inilah sebenarnya merupakan petunjuk – petunjuk SANG GURU SEJATI.Maka dari itu dalam melakukan OLAH ROSO/RASA harus dalam kondisi tenang dan kondisi bersih itu adalah tentram. Artinya kita harus selalu berusaha dalam segala hal TENANG-KALEM tapi pasti. Sehingga jika melakukan pekerjaan akan dapat diselesaikan dengan mudah.Untuk itu dibutuhkan modal KESABARAN HATI,KETABAHAN serta KETINGGIAN MENTAL. GURU SEJATI itu adalah GURU-MU yang sudah bersatu manunggal dengan RAGA-MU itu.Jadi kita tidak perlu jauh-jauh mencari guru,untuk itulah kita perlu lebih mengenal DIRI SENDIRI.Sebetulnya ajaran ini sudah ada sejak nenek moyang kita ada dan sebelum beberapa agama itu masuk.Namun jaman sekarang sudah banyak dilupakan oleh sebagian orang.Karena manusia jaman sekarang terlalu berpikir LOGIKA/ILMIAH dan EGO TINGGI serta HAWA NAFSU yang diutamakan.Disamping itu karena terlalu fanatik dengan agama masing-masing sehingga melupakan beberapa ajaran LUHUR dan BUDI PEKERTI yang diajarkan oleh nenek moyang.Padahal semua agama bersifat fleksible dan universal yang dapat menyatu dengan beberapa ajaran baik dari nenek moyang.Saking fanatiknya sampai ada yang membela mati- matian atas nama TUHAN-NYA.Padahal TUHAN sendiri tidak pernah minta dibela,karena TUHAN itu MAHA BESAR,MAHA TAHU,MAHA SEMPURNA yang dapat melakukan apa saja hanya dalam sekejap.Jadi BELIAU tidak butuh pembelaan dari manusia karena manusia adalah ciptaan BELIAU sendiri yang dengan mudah dapat dicabut nyawanya sewaktu- waktu.Sekian dari saya semoga bermanfaat buat sampean sekalian RAHAYU...RAHAYU....DUMATENG UGI.

Syeh Siti Jenar tidak di eksekusi mati

Bantuan Aksesibilitas Tekan alt + / untuk membuka menu ini Facebook Iman Beranda Buat 1 Permintaan Pertemanan Pesan 7 Notifikasi Pengaturan Akun Ternyata Syekh Siti Jenar Tidak Dieksekusi Wali Songo 21 November 2013 pukul 15.52 7 Versi Kematian Syekh Siti Jenar Mendiskusikan tentang wafatnya Syekh Siti Jenar memang cukupmenarik. Sebagaimana banyaknya versi yang menjelaskan tentang asal-usul dansosol Syekh Siti Jenar, maka demikian pula halnya tentang varian versi yangmenerangkan tentang proses kematiannya. Secara umum kesamaan yang diperlihatkanoleh berbagai literatur seputar kematian Syekh Siti Jenar hanyalah yangberkaitan dengan masanya saja, yakni pada masa kerajaan Islam Demak di bawahpemerintahan Raden Fatah sekitar akhir abad XV dan awal abad XVI. Tentu hal inijuga masih mengecualikan sebagian kisah versi Cirebon, yang menyebutkan bahwawafatnya Syekh Siti Jenar terjadi pada masa Sultan Trenggono. Sedangkan yangberkaitan dengan proses kematiannya, berbagai sumber yang ada memberikanpenjelasan yang berbeda-beda. Sampai saat ini, paling tidak terdapat beberapaasumsi (tujuh versi) mengenai proses meninggalnya Syekh Siti Jenar. VersiPertama Bahwa Syekh Siti Jenar wafat karena dihukum mati oleh SultanDemak, Raden Fatah atas persetujuan Dewan Wali Songo yang dipimpin oleh SunanBonang. Sebagai algojo pelaksana hukuman pancung adalah Sunan Kalijaga, yangdilaksanakan di alun-alun kesultanan Demak. Sebagian versi ini mengacu pada “Serat Syeikh Siti Jenar” oleh Ki Sosrowidjojo. VersiKedua Syekh Siti Jenar dijatuhi hukuman mati oleh Sunan Gunung Jati.Pelaksana hukuman (algojo) adalah oSunan Gunung Jati sendiri, yangpelaksanaannya di Masjid Ciptarasa Cirebon. Mayat Syekh Siti Jenar dimandikanoleh Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Kudus, dan Sunan Giri, kemudiandimakamkan di Graksan, yang kemudian disebut sebagai Pasarean Kemlaten. Hal ini tercantum dalam Wawacan Sunan Gunung Jati Pupuh ke-39 terbitan Emon Suryaatmana danT.D Sudjana (alin bahasa pada tahun 1994). Sebagaimana yang dikemukakan oleh Sudirman Tebba (2000: 41), SyekhSiti Jenar dipenggal lehernya oleh Sunan Kalijaga. Pada awalnya mengucur dararberwarna merah, kemudian berubah menjadi putih. Syekh Siti Jenar kemudianberkata: “Tidak ada Tuhan selain Allah danMuhammad adalah utusan-Nya”. Kemudian tubuh Syekh Siti Jenar naik ke surgaseiring dengan kata-kata: ”Jika adaseorang manusia yang percaya kepada kesatuan selain dari Allah Yang Mahakuasa, diaakan kecewa, karena dia tidak akan memperoleh apa yang dia inginkan”. Untuk kisah yang terdapat dalam versi pertama dan kedua masihmemiliki kelanjutan yang hampir sama. Sebagaimana dikemukakan dalam Suluk Syekh Siti Jenar, disebutkan bahwa setelah Syekh Siti Jenarmeninggal di Krendhawasa tahun Nirjamna Catur Tunggal (1480 M. Tahun yang tentusaja masih terlalu dini untuk kematian Syekh Siti Jenar), jenazahnya dibawa keMasjid Demak, karena saat itu magrib tiba, maka pemakaman dilakukan esokpaginya agar bisa disaksikan oleh raja. Para ulama sepakat untuk menjagajenazah Syekh Siti Jenar sambil melafalkan pujian-pujian kepada Tuhan. Ketikawaktu shalat tiba, para santri berdatangan ke masjid. Pada saat itu tiba-tibatercium bau yang sangat harum, seperti bau bunga Kasturi. Selesai shalat parasantri diperintahkan untuk meninggalkan masjid. Tinggal para ulama saja yangtetap berada di dalamnya untuk menjaga jenazah Syekh Siti Jenar. Bau harum terus menyengat, oleh karena itu Syekh Malaya mengajakulama lainnya untuk membuka peti jenazah Syekh Siti Jenar. Tatkala peti ituterbuka, jenazah Syekh Siti Jenar memancarkan cahaya yang sangat indah, lalumuncul warna pelangi memenuhi ruangan masjid. Sedangkan dari bawah petimemancarkan sinar yang amat terang, bagaikan siang hari. Dengan gugup, para ulama mendudukkan jenazah itu, lalu bersembahsujud sambil menciumi tubuh tanpa nyawa itu bergantian hingga ujung jari. Kemudianjenazah itu kembali dimasukkan ke dalam peti, Syekh Malaya terlihat tidakberkenan atas tindakan rekan-rekannya itu. Dalam Suluk Syekh SitiJenar dan Suluk Walisanga dikisahkanbahwa para ulama telah berbuat curang. Jenazah Syekh Siti Jenar diganti denganbangkai anjing kudisan. Jenazah itu dimakamkan mereka di tempat yangdirahasiakan. Peti jenazah diisi dengan bangkai anjing kudisan. Bangkai itu dipertontonkankeesokan harinya kepada masyarakat untuk mengisyaratkan bahwa ajaran Syekh SitiJenar adalah sesat. Digantinya jenazah Syekh Siti Jenar dengan bangkai anjing initernyata diketahui oleh salah seorang muridnya bernama Ki Luntang. Dia datangke Demak untuk menuntut balas. Maka terjadilah perdebatan sengit antara KiLuntang dengan para Wali yang berakhir dengan kematiannya. Sebelum diamengambil kematiannya, dia menyindir kelicikan para Wali dengan mengatakan(Sofwan, 2000: 221): “...luhta payo totonen derengsun manthuk, yen wus mulih salinen, bangke sakarepmudadi. Khadal, kodok, rase, luwak, kucing kuwuk kang gampang lehmu sandi, upayasadhela entuk, wangsul sinantun gajah, sun pastheake sira nora bisa luruh rehtanah jawa tan ana...” ...nah silahkan lihat diriku yang hendak menjemput kematian.Jika nanti aku telah mati, kau boleh mengganti jasadku sekehendakmu, kadal,kodok, rase, luwak atau kucing tua yang mudah kau peroleh. Tapi, jika hendakmengganti dengan gajah, kau pasti tidak akan bisa karena di tanah Jawa tidakada...” Seperti halnya sang guru, Ki Luntang pun mati atas kehendaknyasendiri, berkonsentrasi untuk menutup jalan hidup menuju pintu kematian. VersiKetiga Bahwa Syekh Siti Jenar meninggal karena dijatuhi hukuman matioleh Sunan Giri, dan algojo pelaksana hukuman mati tersebut adalah Sunan GunungJati. Sebagian riwayat menyebutkan bahwa vonis yang diberikan Sunan Giri atasusulan Sunan Kalijaga (Hasyim, 1987: 47). Dikisahkan bahwa Syekh Siti Jenar mempunyai sebuah pesantrenyang banyak muridnya. Namun sayang, ajaran-ajarannya dipandang sesat dan keluardari ajaran Islam. Ia mengajarkan tentang keselarasan antara Tuhan, manusia danalam (Hariwijaya, 2006: 41-42). Hubungan manusia dengan Tuhannya diungkapkan dengan “Manunggaling kawula-gusti” dan “Curiga Manjing Warangka”. Hubunganmanusia dengan alam diungkapkan dengan “MengasahMingising Budi, Memasuh Malaning Bumi”, dan “Hamemayu Hayuning Bawana”, yang bermuara pada pembentukan “Jalma Sulaksana”, “Al-insan Al-kamil”, “SariraBathara”, “Manusia Paripurna”, “Adi Manusia” yang imbang lahir batin, jiwa-raga,intelektual spiritual, dan kepala dadanya. Konsep manunggaling kawula gusti oleh Syekh Siti Jenar disebutdengan “uninong aning unong”, saatsepi senyap, hening, dan kosong. Sesungguhnya Zat Tuhan dan zat manusia adalahsatu, manusia ada dalam Tuhan dan Tuhan ada dalam manusia. Sunan Giri sebagai ketua persidangan, setelah mendengarpenjelasan dari berbagai pihak dan bermusyawarah dengan para Wali, memutuskanbahwa ajaran Syekh Siti Jenar itu sesat. Ajarannya bisa merusak moralmasyarakat yang baru saja mengenal Islam. Karenanya Syekh Siti Jenar dijatuhihukuman mati. Syekh Siti Jenar masih diberi kesempatan selama setahun untukmemperbaiki kesalahannya sekaligus menanti berdirinya Negara Demak secaraformal, karena yang berhak menentukan hukuman adalah pihak negara (Widjisaksono, 1995: 61). Kalau sampai waktu yang ditentukan ia tidak mengubahpendiriannya, maka hukuman tersebut akan dilaksanakan. Sejak saat itu, pesantren Syekh Siti Jenar ditutup danmurid-muridnya pun bubar, menyembunyikan diri dan sebagian masih mengajarkanajaran wahdatul wujud meskipun secarasembunyi-sembunyi. Setelah satu tahun berlalu, Syekh Siti Jenar ternyata tidakberbubah pendiriannya. Maka dengan terpaksa Sunan Gunung Jati melaksanakaneksekusi yang telah disepakati dulu. Jenazah Syekh Siti Jenar dimakamkan dilingkungan keraton agar orang-orang tidak memujinya. VersiKeempat Syekh Siti Jenar wafat karena vonis hukuman mati yang dijatuhiSunan Giri sendiri. Peristiwa kematian Syekh Siti Jenar versi ini sebagaimana yangdikisahkan dalam Babad Demak. Menurutbabad ini Syekh Siti Jenar meninggal bukan karena kemauannya sendiri, dengankesaktiannya dia dapat menemui ajalnya, tetapi dia dibunuh oleh Sunan Giri. Kerisditusukkan hingga tembus ke punggung dan mengucurkan darah berwarna kuning.Setelah mengetahui bahwa suaminya dibunuh, istri Syekh Siti Jenar menuntut belakematian itu kepada Sunan Giri. Sunan Giri menghiburnya dengan mengatakan bahwadia bukan yang membunuh Syekh Siti Jenar tetapi dia mati atas kemauannyasendiri. Diberitahukan juga bahwa suaminya kini berada di dalam surga. SunanGiri meminta dia melihat ke atas dan di sana dia melihat suaminya berada disurga dikelilingi bidadari yang agung, duduk di singgasana yang berkilauan(Sofwan, 2000: 218). Kematian Syekh Siti Jenar dalam versi ini juga dikemukakan dalamBabad Tanah Jawa yang disandur olehS. Santoso, dengan versi yang sedikit memiliki perbedaan. Dalam babad inidisebutkan Syekh Siti Jenar terbang ke surga, tetapi badannya kembali kemasjid. Para ulama takjub karena dia dapat terbang ke surga, namun kemudianmarah karena badannya kembali ke masjid. Melihat hal yang demikian, Sunan Girikemudian mengatakan bahwa tubuhnya harum ditikam dengan sebuah pedang, kemudiandibakar. Syekh Maulana kemudian mengambil pedang dan menikamkannya ke tubuhSyekh Siti Jenar, tetapi tidak mempan. Syekh Maulana bertambah marah danmenuduh Syekh Siti Jenar berbohong atas pernyataannya yang menegaskan bahwa diarela mati. Syekh Siti Jenar menerima banyak tikaman dari Syekh Maulana,tetapi dia terus berdiri. Syekh Maulana kian gusar dan berkata, “Itu luka orang jahat, terluka tapi tidakberdarah”. Dari luka-luka Syekh Siti Jenar itu seketika keluar darah berwarnamerah. Seketika Syekh Maulana berkata lagi, ”Itu luka orang biasa, bukan kawula gusti, karena darah yang keluarberwarna merah”. Dari merah yang mengucur itu seketika berubah berwarnaputih. Syekh Maulana berkata lagi. “Iniseperti kematian pohon kayu, keluar getah dari lukanya. Kalau ‘insan kamil’betul tentu dapat masuk surga dengan badan jasmaninya, berarti kawula gustitidak terpisah”. Dalam sekejap mata tubuh Syekh Siti Jenar hilang dandarahnya sirna. Syekh Maulana kemudian membuat muslihat dengan membunuh seekoranjing, membungkusnya dengan kail putih dan mengumumkan kepada masyarakat bahwamayat Syekh Siti Jenar telah berubah menjadi seekor anjing disebabkan ajarannyayang bertentangan dengan syariat. Anjing itu kemudian di bakar. Beberapa waktu setelah peristiwa itu, para ulama didatangi olehseorang penggembala kambing yang mengaku sebagai murid Syekh Siti Jenar. Diaberkata, ”Saya dengar para Wali telahmembunuh guru saya, Syekh Siti Jenar. Kalau memang demikian, lebih baik sayajuga Tuan-tuan bunuh. Sebab saya ini juga Allah, Allah yang menggembalakankambing”. Mendengar penuturannya itu kemudian Syekh Maulana membunuhnyadengan pedang yang sama dengan yang digunakan untuk membunuh Syekh Siti Jenar.Seketika tubuh mayat penggembala kambing itu lenyap. (Tebba, 2003: 43). VersiKelima Bahwa vonis hukuman mati dijatuhkan oleh Sunan Gunung Jati,sedangkan yang menjalankan eksekusi kematian (algojo) adalah Sunan Kudus. Versitentang proses kematian Syekh Siti Jenar ini dapat ditemukan dalam Serat Negara Kertabumi yang disuntingoleh Rahman Selendraningrat. Tentu bahwa kisah eksekusi terhadap Syekh Sitijenar yang terdapat dalam versi ini berbeda dari yang lainnya. Nampaknya kisahini bercampur aduk dengan kisah eksekusi Ki Ageng Pengging yang dilakukan olehSunan Kudus. Kisah kematian Syekh Siti Jenar dalam sastra “kacirebonan” inidiawali dengan memperlihatkan posisi para pengikut Syekh Siti Jenar di Cirebonsebagai kelompok oposisi atas kekuatan Kesultanan Cirebon. Sejumlah tokohpengkutnya pernah berusaha untuk menduduki tahta, tetapi semuanya menemuikegagalan. Tatkala Pengging dilumpuhkan, Syekh Siti Jenar yang pada saat itumenyebarkan agama di sana, kembali ke Cirebon diikuti oleh para muridnya dariPengging. Di Cirebon, kekuatan Syekh Siti Jenar menjadi semakin kokoh, pengikutnyameluas hingga ke desa-desa. Serelah Syekh Datuk Kahfi meninggal dunia, SultanCirebon menunjuk Pangeran Punjungan untuk menjadi guru agama Islam di PadepokanAmparan Jati. Pangeran Punjungan bersedia menjalankan tugas yang diembankansultan kepadanya, namun dia tidak mendapatkan murid di sana karena orang-orangtelah menjadi murid Syekh Siti Jenar. Bahkan panglima bala tentara Cirebonbernama Pangeran Carbon lebih memilih untuk menjadi muridnya Syekh Siti Jenar.Dijaga oleh muridnya yang banyak, Syekh Siti Jenar merasa aman tinggal diCirebon Girang. Keberadaan Syekh Siti Jenar di Cirebon terdengar oleh SultanDemak. Sultan kemudian mengutus Sunan Kudus disertai 700 orang prajurit keCirebon. Sultan Cirebon menerima permintaan Sultan Demak dengan tulus, bahkanmemberi bantuan untuk tujuan itu. Langkah pertama yang diambil Sultan Cirebon adalah mengumpulkanpara murid Syekh Siti Jenar yang ternama, antara lain Pangeran Carbon, paraKyai Geng, Ki Palumba, Dipati Cangkuang dan banyak orang lain di istanaPangkuangwati. Selanjutnya bala tentara Cirebon dan Demak menuju padepokanSyekh Siti Jenar di Cirebon Girang. Syekh Siti Jenar kemudian di bawa ke masjidAgung Cirebon, tempat para Wali telah berkumpul. Dalam persidangan itu, yang bertindak sebagai hakim ketuanadalah Sunan Gunung Jati. Melalui perdebatan yang panjang, pengadilanmemutuskan Syekh Siti Jenar harus dihukum mati. Kemudian Sunan Kudusmelaksanakan eksekusi itu menggunakan keris pusaka Sunan Gunung Jati. Peristiwaitu terjadi pada bulan Safar 923 H atau 1506 (Sofwan, 2000: 222). Pada peristiwa selanjutnya, mulai diperlihatkan kecurangan yangdilakukan oleh para ulama di Cirebon terhadap keberadaan jenazah Syekh SitiJenar. Dikisahkan, setelah eksekusi dilaksanakan, jenazah Syekh Siti Jenardimakamkan di suatu tempat yang kemudian banyak diziarahi orang. Untukmengamankan keadaan, Sunan Gunung Jati memerintahkan secara diam-diam agarmayat Syekh Siti Jenar dipindahkan ke tempat yang dirahasiakan, sedangk di kuburanyang sering dikunjungi orang itu dimasukkan bangkai anjing hitam. Ketika para perziarah menginginkan agar mayat Syekh Siti Jenardipindahkan ke Jawa Timur, kuburan di buka dan ternyata yang tergeletak didalamnya bukan mayat Syekh Siti Jenar melainkan bangkai seekor anjing. Parapeziarah terkejut dan tak bisa mengerti keadaan itu. Ketika itu Sultan Cirebonmemanfaatkan situasi dengan mengeluarkan fatwa agar orang-orang tidakmenziarahi bangkai anjing dan agar meninggalkan ajaran-ajaran Syekh Siti Jenar(Sulendraningrat, 1983: 28). VersiKeenam Bahwa Syekh Siti Jenar dijatuhi hukuman mati oleh Wali Songo. Padasaatu hukuman harus dilaksanakan, para anggota Wali Songo mendatangi Syekh SitiJenar untuk melaksanakan hukuman mati. Akan tetapi kemudian para anggota WaliSongo tidak jadi melaksanakan hukuman tersebut, karena Syekh Siti Jenar justrumemilih cara kematiannya sendiri, dengan memohon kepada Allah agar diwafatkantanpa harus dihukum oleh pihak Sultan dan para Sanan, sekaligus Syekh SitiJenar menempuh jalan kematiannya sendiri, yang sudah ditetapkan oleh Allah. Versiini mengacu pada Serat Seh Siti Jenar yangdigubah oleh Ki Sosrowidjojo, yang kemudian disebarluaskan kembali ileh AbdulMunir Mulkan (t.t). Sofwan (2000: 215-217) mengutip Suluk Walingsanga (sebagaimana juga yang terdapat dalam Serat Seh Siti Jenar dalam berbagaiversi) yang di dalamnya terdapat cerita yang mengisahkan bahwa kematian SyekhSiti Jenar berawal dari perdebatan yang terjadi antara Syekh Siti Jenar dengandua orang utusan Sultan Demak, yakni Syekh Domba dan Pangeran Bayat sebagaiutusan Sultan Fatah dan Majelis Wali Songo. Dua orang utusan ini diperintahSultan atas persetujuan Majelis Wali Songo untuk mengadakan tukar pikiran(lebih tepatnya menginvestigasi) dengan Syekh Siti Jenar mengenai ajaran yangdia sampaikan kepada murid-muridnya. Disinyalir bahwa ajaran yang telah disampaikan oleh Syekh SitiJenar menyebabkan terganggunya stabilitas keamanan dan ketertiban di wilayahDemak. Hal ini disebabkan ulah para muridnya yang berbuat kegaduhan, merampok, berkelahi,bahkan membunuh. Bila ada kejahatan atau keonaran, tentu murid Syekh Siti Jenaryang menjadi pelakunya. Ketika pengawal kerajaan menangkap mereka, maka merekabunuh diri di dalam penjara. Bila dikorek keterangan dari mereka, dengan angkuhmereka mengatakan bahwa mereka adalah murid Syekh Siti Jenar yang telah banyakmengenyam ilmu makrifat, dan selalu siap mati bertemu Tuhan. Mereka beranggapan bahwa hidup sekedar menjalani mati, olehkarena itu mereka merasa jenuh menyaksikan bangkai bernyawa bertebaran diatasnya. Dunia ini hanya dipenuhi oleh mayat, maka mereka lebih memilihmeninggalkan dunia ini. Mereka juga mengejek, mengapa orang mati diajarishalat, menyembah dan mengagungkan nama-Nya, padahal di dunia ini orang tidakpernah melihat Tuhan. Berkenaan dengan pemahaman yang demikian ini, maka Syekh Dombadan Pangeran Bayat diutus oleh Sultan Demak untuk menemui Syekh Siti Jenar.Dalam pertemuan itu terjadi perdebatan antara utusan Sultan dengan Syekh Siti Jenar.Dalam perdebatan itu, terlihat bahwa kemahiran Syekh Siti Jenar berada di atasSyekh Domba dan Pangeran Bayat. Pada akhirnya, Syekh Domba merasa kagum atasuraian dan kedalaman ilmu Syekh Siti Jenar, bahkan dia bisa menyetujuikebenarannya. Dia ingin menjadi muridnya secara tulus, kalau saja tidak dicegaholeh Pangeran Bayat. Selanjutnya, kedua utusan itu kembali ke Demak melaporkan apayang telah mereka saksikan tentang ajaran Syekh Siti Jenar. Setelah berundingdengan Majelis Wali Songo, Sultan kemudian mengutus lima orang Wali untukmemanggil Syekh Siti Jenar ke istana guna mempertanggungjawabkan ajarannya. Kelimautusan itu adalah Sunan Kalijaga, Sunan Ngudung, Pangeran Modang, Sunan Geseng,dan Sunan Bonang sebagai pemimpin utusan itu. Mereka diikuti oleh empat puluhorang santri lengkap dengan persenjataannya untuk memaksa Syekh Siti Jenardatang ke istana. Sesampainya di kediaman Syekh Siti Jenar, kelima Walitersebut terlibat perdebatan sengit. Perdebatan itu berakhir dengan ancamanSunan Kalijaga. Sekalipun mendapatkan ancaman dari Sunan Kalijaga, Syekh SitiJenar tetap tidak bersedia datang ke istana karena menurutnya Wali dan rajatidak berbeda dengan dirinya, sama-sama terbalut darah dan daging yang akanmenjadi bangkai. Lalu dia memilih mati. Mati bukan karena ancaman yang ada,tetapi karena kehendak diri sendiri. Syekh Siti Jenar kemudian berkonsentrasi,menutup jalan hidupnya dan kemudian meninggal dunia. VersiKetujuh Bahwa terdapat dua orang tokoh utama, yang memiliki nama asliyang berdekatan dengan nama kecil Syekh Siti Jenar, San Ali. Tokoh yang satuadalah Hasan Ali, nama Islam Pangeran Anggaraksa, anak Rsi Bungsi yang semulaberambisi menguasai Cirebon, namun kemudian terusir dari Keraton, karenakedurhakaan kepada Rsi Bungsi dan pemberontakannya kepada Cirebon. Ia menaruhdendang kepada Syekh Siti Jenar yang berhasil menjadi seorang guru suci utamadi Giri Amparan Jati. Tokoh yang satunya lagi adalah San Ali Anshar al-Isfahanidari Persia, yang semua merupakan teman seperguruan dengan Syekh Siti Jenar diBaghdad. Namun ia menyinpan dendang pribadi kepada Syekh Siti Jenar karenakalah dalam hal ilmu dan kerohanian. Ketika usia Syekh siti Jenar sudah uzur, dua tokoh ini bekerjasama untuk berkeliling ke berbagai pelosok tanah Jawa, ke tempat-tempat yang penduduknya menyatakan diri sebagaipengikut Syekh Siti Jenar, padahal mereka belum pernah bertemu dengan SyekhSiti Jenar. Sehingga masyarakat tersebut kurang mengenal sosok asli Syekh SitiJenar. Pada tempat-tempat seperti itulah, dua tokoh pemalsu ajaran Syekh SitiJenar memainkan perannya, mengajarkan berbagai ajaran mistik, bahkan perdukunanyang menggeser ajaran tauhid Islam. Hasan Ali mengaku dirinya sebagai Syekh Lemah Abang, dan San AliAnshar mengaku dirinya sebagai Syekh Siti Jenar. Hasan Ali beroperasi di Jawabagian Barat, sementara San Ali Anshar di Jawa Bagian Timur. Kedua orang inisebenarnya yang dihukum mati oleh anggota Wali Songo, karena sudah melancarkanberbagai fitnah keji terhadap Syekh Siti Jenar sebagai guru dan anggota WaliSongo. Kemungkinan karena silang sengkarut kemiripan nama itulah, makadalam berbagai Serat dan babad di daerah Jawa, cerita tentang Syekh Siti Jenarmenjadi simpang siur. Namun pada aspek yang lain, ranah politik juga ikutmemberikan andil pendiskreditan nama Syekh Siti Jenar. Karena naiknya RadenFatah ke tampuk kekuasaan Kesultanan Demak, diwarnai dengan intrik perebutantahta kekuasaan Majapahit yang sudah runtuh, sehingga segala intrik bisaterjadi dan menjadi “halal” untuk dilakukan, termasuk dengan mempolitisasiajaran Syekh Siti Jenar yang memiliki dukungan massa banyak, namun tidakmenggabungkan diri dalam ranah kekuasaan Raden Fatah. Jadi dikaitkan dengan kekuasaan Sultan Trenggono, sebagaimanatercatat dalam berbagai fakta sejarah, naiknya Sultan Trenggono sebagaipenguasa tunggal Kesultanan Demak, adalah dengan cara berbagai tipu muslihatdan pertumpahan darah. Karena sebenarnya yang berhak menjadi Sultan adalahPangeran Suronyoto, yang dikenal dengan sebutan Pangeran Sekar Seda Ing Lepen, kakaklaki-laki Sultan Trenggono yang seharusnya menggantikan Adipati Unus. “Seda IngLepen” artinya meninggal di sungai. Sebenarnya Pangeran Suronyoto tidak meninggal di sungai, namundibunuh oleh orang-orang suruhan Pangeran Trenggono, baru setelah terbunuh,mayatnya dibuang ke sungai (Daryanto, 2009: 215-278). Kematian kakaknyatersebut diduga atas strategi Sultan Trenggono. Sultan Trenggono sendiri, padamulanya tidaklah begitu disukai oleh para adipati dan kebanyakan masyarakat, karenasifatnya yang ambisius, yang dibingkai dalam sikap yang lembut. Salah satu tokoh penentang utama naiknya Trenggono sebagaiSultan adalah Pangeran Panggung di Bojong, salah satu murid utama Syekh SitiJenar. Demikian pula masyarakat Pengging yang sejak kekuasaan Raden Fatah belummau tunduk pada Demak. Banyak masyarakat yang sudah tercerahkan kemudian kurangmenyukai Sultan Trenggono. Mungkin oleh karena faktor inilah, maka SultanTrenggono dan para ulama yang mendekatinya kemudian memusuhi pengikut SyekhSiti Jenar. Maka kemudian dihembuskan kabar bahwa Syekh Siti Jenar dihukum matioleh Dewan Wali Songo di masjid Demak, dan mayatnya berubah menjadi anjingkudisan, dan dimakamkan di bawah mihrab pengimaman masjid. Suatu hal yangsangat mustahil terjadi dalam konteks hukum Islam, namun tentu dianggap sebagaisebuah kebenaran atas nama kemukjizatan bagi masyarakat awam. Keberadaan para ulama “penjilat” penguasa, yang untuk memenuhiambisi duniawinya bersedia mengadakan fitnah terhadap sesama ulama, dan untukselalu dekat dengan penguasa bahkan bersedia menyatakan bahwa suatu ajarankebenaran sebagai sebuah kesesatan dan makar, karena menabrak kepentinganpenguasa itu sebenarnya sudah digambarkan oleh para ulama. Imam Al-Ghazalidalam kitab Ihya’ “Ulum al-Din menyebutkansebagai al-‘ulama’ al-su’ (ulama yangjelek dan kotor). Sementara ketika Sunan Kalijaga melihat tingkah laku paraulama pada zaman Demak, yang terkait dengan bobroknya moral dan akhlakpenguasa, disamping fitnah keji yang ditujukan kepada sesama ulama, namun bedapendapat dan kepentingan, maka Sunan Kalijaga membuatkan deskripsi secarahalus. Sesuai dengan profesinya dalam budaya, utamanya sebagai dalang, SunanKalijaga menggambarkan kelakuan para ulama yang ambisi politik dan memilikikarakter jelek sebagai tokoh Sang Yamadipati (Dewa Pencabut Nyawa) dan PendetaDurna (ulama yang bermuka dua, munafik). Kedua tokoh tersebut dalam serial pewayangan model SunanKalijaga digambarkan sebagai ulama yang memakai pakaian kebesaran ulama;memakai surban, destar, jubah, sepatu, biji tasbih dan pedang. Pemberiankarakter seperti itu adalah salah satu cara Sunan Kalijaga dalam mencatatkansejarah bangsanya, yang terhina dan teraniaya akibat tindakan para ulama jahatyang mengkhianati citra keulamaannya, dengan menjadikan diri sebagai SangYamadipati, mencabut nyawa manusia yang dianggapnya berbeda pandangan dengandirinya atau dengan penguasa di mana sang ulama mengabdikan dirinya. Haltersebut merupakan cara Sunan Kalijaga melukiskan suasana batin bangsanya yangsudah mencitrakan pakaian keulamaan, dalil-dalil keagamaan sebagai atribut SangPencabut Nyawa. Atas nama agama, atas nama pembelaan terhadap Tuhan, dan karenadalil-dalil mentah, maka aliran serta pendapat yang berbeda harus dibungkushabis. Gambaran pendeta Durna adalah wujud dari rasa muak SunanKalijaga terhadap para ulama yang menjilat kepada kekuasaan, bahkanaktivitasnya digunakan untuk semata-mata membela kepentingan politik dankekuasaan, menggunakan dalil keagamaan hanya untuk kepentingan dan keuntunganpribadi dengan mencelakakan banyak orang sebagai tumbalnya. Citra diri ulamayang ‘tukang’ hasut, penyebar fitnah, penggunjing, dan pengadu domba. Itulahyang dituangkan oleh Sunan Kalijaga dalam sosok Pendeta Durna. Berbagai versi tentang kematian Syekh Siti Jenar menunjukkanbahwa tokoh Syekh Siti Jenar memang sangat kontroversional. Berbagai literaturyang ada tidak dapat memastikan tentang asal-usul keberadaannya hingga proseskematian yang dialaminya, disebabkan oleh banyak faktor dan kepentingan yangmengitarinya. Walaupun demikian, sejumlah besar keterangan yang mengisahkantentang keberadaannya memerlihatkan ajarannya yang selalu dipertentangkandengan paham para Wali, namun sekaligus tidak jarang membuat para Wali itusendiri “kagum” dan “mengakui” kebenaran ajarannya. Tentu saja, “pengakuan” dan“kekaguman” itu tidak pernah diperlihatkan secara eksplisit karena akanmengurangi “keagungan” mereka, disamping kurang objektifnya penulisan serat danbabad Jawa, yang terkait dengan Syekh Siti Jenar. Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa dalam berabgai Seratdan Babad tersebut, akhir dari kisah Syekh Siti Jenar selalu dihiasi denganusaha-usaha intrik politik para Wali. Bisa jadi hal ini memang dilakukan olehpara ulama penjilat kekuasaan, oleh murid-murid generasi penerus para ulamayang pernah memusuhi ajaran Syekh Siti Jenar, atau para penulis kisah yang jugamemiliki kepentingan tersendiri terkait dengan motif politik, ideologi, keyakinan,dan ajaran keagamaan yang dianutnya. Pada sisi lain, disamping disebabkan banyaknya referensi yangberbeda dalam menjelaskan kisah Syekh Siti Jenar, pemahaman mereka yang membacaakan memberikan pemahaman baru dari bacaan tersebut sehingga memperbanyakversi. Misalnya, tentang pemahaman salah satu versi mengenai asal-usul SyekhSiti Jenar yang dalam Serat Syekh SitiJenar, sebagaimana juga disadur dalam FalsafahSyekh Siti Jenar disebut “berasal dari caing (elur)”. Sebagian penafsir mengatakan bahwa memang Syekh Siti Jenarbukanlah berasal dari manusia, namun semula ia adalah seekor cacing yangdisumpah oleh Sunan Bonang menjadi manusia. Padalah, jika cara pembacaan inidilakukan dengan cara referensi silang, kita mendapatkan penjelasan dari sumberlain, misalnya dalam Serat Seh Siti Jenaryang tersimpan di musem Radya Pustaka Surakarta, bahwa yang dimaksud “elur”(cacing) tidak lain adalah “wrejid bangsa sudra” (yang berasal dari rakyatjelata). Maksudnya Syekh Siti Jenar adalah masyarakat biasa yang berhasilmenjadi Wali, atau seorang Wali yang menjelata (menempatkan dirinya berada ditengah-tengah mansyarakat jelata) (lihat misalnya Sujamto, 2000: 87). Sumber : K.H. Muhammad Sholikhin. TernyataSyekh Siti Jenar Tidak Dieksekusi Wali Songo. Erlangga. Boyolali: 2008.

Guru Sejati - Kejawen

HAKEKAT GURU SEJATI Kembali pada pembahasan Guru Sejati. Melalui 3 langkahnya (Triwikrama) Dewa Wishnu (Yang Hidup), mengarungi empat macam zaman (kertayuga, tirtayuga, kaliyuga, dwaparayuga), lalu lahirlah manusia dengan konstruksi terdiri dari fisik dan metafisik di dunia (zaman mercapada). Fisik berupa jasad atau raga, sedangkan metafisiknya adalah roh beserta unsur-unsur yang lebih rumit lagi. Ilmu Jawa melihat bahwa roh manusia memiliki pamomong (pembimbing) yang disebut pancer atau guru sejati. Pamomong atau Guru Sejati berdiri sendiri menjadi pendamping dan pembimbing roh atau sukma. Roh atau sukma di siram “air suci” oleh guru sejati, sehingga sukma menjadi sukma sejati. Di sini tampak Guru sejati memiliki fungsi sebagai resources atau sumber “pelita” kehidupan. Guru Sejati layak dipercaya sebagai “guru” karena ia bersifat teguh dan memiliki hakekat “sifat-sifat” Tuhan (frekuensi kebaikan) yang abadi konsisten tidak berubah-ubah (kang langgeng tan owah gingsir). Guru Sejati adalah proyeksi dari rahsa/rasa/sirr yang merupakan rahsa/sirr yang sumbernya adalah kehendak Tuhan; terminologi Jawa menyebutnya sebagai Rasa Sejati. Dengan kata lain rasa sejati sebagai proyeksi atas “rahsaning” Tuhan (sirrullah). Sehingga tak diragukan lagi bila peranan Guru Sejati akan “mewarnai” energi hidup atau roh menjadi energi suci (roh suci/ruhul kuddus). Roh kudus/roh al quds/sukma sejati, telah mendapat “petunjuk” Tuhan –dalam konteks ini hakikat rasa sejati– maka peranan roh tersebut tidak lain sebagai “utusan Tuhan”. Jiwa, hawa atau nafs yang telah diperkuat dengan sukma sejati atau dalam terminologi Arab disebut ruh al quds. Disebut juga sebagai an-nafs an-natiqah, dalam terminologi Arab juga disebut sebagai an-nafs al-muthmainah, adalah sebagai “penasihat spiritual” bagi jiwa/nafs/hawa. Jiwa perlu di dampingi oleh Guru Sejati karena ia dapat dikalahkan oleh nafsu yang berasal dari jasad/raga/organ tubuh manusia. Jiwa yang ditundukkan oleh nafsu hanya akan merubah karakternya menjadi jahat. GURU SEJATI dan SEDULUR 4 , 5 PANCER Menurut ngelmu Kejawen, ilmu seseorang dikatakan sudah mencapai puncaknya apabila sudah bisa menemui wujud Guru Sejati. Guru Sejati benar-benar bisa mewujud dalam bentuk “halus”, wujudnya mirip dengan diri kita sendiri. Mungkin sebagian pembaca yang budiman ada yang secara sengaja atau tidak pernah menyaksikan, berdialog, atau sekedar melihat diri sendiri tampak menjelma menjadi dua, seperti melihat cermin. Itulah Guru Sejati anda. Atau bagi yang dapat meraga sukma, maka akan melihat kembarannya yang mirip sukma atau badan halusnya sendiri. Wujud kembaran (berbeda dengan konsep sedulur kembar) itu lah entitas Guru Sejati. Karena Guru Sejati memiliki sifat hakekat Tuhan, maka segala nasehatnya akan tepat dan benar adanya. Tidak akan menyesatkan. Oleh sebab itu bagi yang dapat bertemu Guru Sejati, saran dan nasehatnya layak diikuti. Bagi yang belum bisa bertemu Guru Sejati, anda jangan pesimis, sebab Guru Sejati akan selalu mengirim pesan-pesan berupa sinyal dan getaran melalui Hati Nurani anda. Maka anda dapat mencermati suara hati nurani anda sendiri untuk memperoleh petunjuk penting bagi permasalahan yang anda hadapi. Namun permasalahannya, jika kita kurang mengasah ketajaman batin, sulit untuk membedakan apakah yang kita rasakan merupakan kehendak hati nurani (kareping rahsa) ataukah kemauan hati atau hawa nafsu (rahsaning karep). Artinya, Guru Sejati menggerakkan suara hati nurani yang diidentifikasi pula sebagai kareping rahsa atau kehendak rasa (petunjuk Tuhan) sedangkan hawa nafsu tidak lain merupakan rahsaning karep atau rasanya keinginan. Sarat utama kita bertemu dengan Guru Sejati kita adalah dengan lakuprihatin; yakni selalu mengolah rahsa, mesu budi, maladihening, mengolah batin dengan cara membersihkan hati dari hawa nafsu, dan menjaga kesucian jiwa dan raga. Sebab orang yang dapat bertemu langsung dengan Guru Sejati nya sendiri, hanyalah orang-orang yang terpilih dan pinilih. SEDULUR; PAPAT KEBLAT, LIMA PANCER Atau Keblat Papat,Lima Pancer, di lain sisi diartikan juga sebagai kesadaran mikrokosmos. Dalam diri manusia (inner world) sedulur papat sebagai perlambang empat unsur badan manusia yang mengiringi seseorang sejak dilahirkan di muka bumi. Sebelum bayi lahir akan didahului oleh keluarnya air ketuban atau air kawah. Setelah bayi keluar dari rahim ibu, akan segera disusul oleh plasenta atau ari-ari. Sewaktu bayi lahir juga disertai keluarnya darah dan daging. Maka sedulur papat terdiri dari unsur kawah sebagai kakak, ari-ari sebagai adik, dan darah-daging sebagai dulur kembarnya. Jika ke-empat unsur disatukan maka jadilah jasad, yang kemudian dihidupkan oleh roh sebagai unsur kelima yakni pancer. Konsepsi tersebut kemudian dihubungkan dengan hakekat doa; dalam pandangan Jawa doa merupakan niat atau kebulatan tekad yang harus melibatkan unsur semua unsur raga dan jiwa secara kompak. Maka untuk mengawali suatu pekerjaan disebut dibutuhkan sikap amateg aji (niat ingsun) atau artikulasi kemantaban niat dalam mengawali segala sesuatu kegiatan/rencana/usaha). Itulah alasan mengapa dalam tradisi Jawa untuk mengawali suatu pekerjaan berat maupun ringan diawali dengan mengucap; kakang kawah adi ari-ari, kadhangku kang lahir nunggal sedino lan kadhangku kang lahir nunggal sewengi, sedulurku papat kiblat, kelimo pancer…ewang-ewangono aku..saperlu ono gawe …. MENGOLAH GURU SEJATI Guru Sejati yakni rahsa sejati; meretas ke dalam sukma sejati, atau sukma suci, kira-kira sepadan dengan makna roh kudus (ruhul kudus/ruh al quds). Kita mendayagunakan Guru Sejati kita dengan cara mengarahkan kekuatan metafisik sedulur papat (dalam lingkup mikrokosmos) untuk selalu waspada dan jangan sampai tunduk oleh hawa nafsu. Bersamaan menyatukan kekuatan mikrokosmos dengan kekuatan makrokosmos yakni papat keblat alam semesta yang berupa energi alam dari empat arah mata angin, lantas melebur ke dalam kekuatan pancer yang bersifat transenden (Tuhan Yang Mahakuasa). Setiap orang bisa bertemu Guru Sejatinya, dengan syarat kita dapat menguasai hawa nafsu negatif; nafsu lauwamah (nafsu serakah; makan, minum, kebutuhan ragawi), amarah (nafsu angkara murka), supiyah (mengejar kenikmatan duniawi) dan mengapai nafsu positif dalam sukma sejati (almutmainah). Sehingga jasad dan nafs/hawa nafsu lah yang harus mengikuti kehendak sukma sejati untuk menyamakan frekuensinya dengan gelombang Yang Maha Suci. Sukma menjadi suci tatkala sukma kita sesuai dengan karakter dan sifat hakekat gelombang Dzat Yang Maha Suci, yang telah meretas ke dalam sifat hakekat Guru Sejati. Yakni sifat-sifat Sang Khaliq yang (minimal) meliputi 20 sifat. Peleburan ini dalam terminologi Jawa disebut manunggaling kawula-Gusti. Tradisi Jawa mengajarkan tatacara membangun sukma sejati dengan cara ‘manunggaling kawula Gusti’ atau penyatuan/penyamaan sifat hakikat makhluk dengan Sang Pencipta (wahdatul wujud). Sebagaimana makna warangka manjing curiga; manusia masuk kedalam diri “Tuhan”, ibarat Arya Sena masuk kedalam tubuh Dewaruci. Atau sebaliknya, Tuhan menitis ke dalam diri manusia; curigo manjing warongko, laksana Dewa Wishnu menitis ke dalam diri Prabu Kreshna. Sebagai upaya manunggaling kawula gusti, segenap upaya awal dapat dilakukan seperti melalui ritual mesu budi, maladihening, tarak brata, tapa brata, puja brata, bangun di dalam tidur, sembahyang di dalam bekerja. Tujuannya agar supaya mencapai tataran hakekat yakni dengan meninggalkan nafsul lauwamah, amarah, supiyah, dan menggapai nafsul mutmainah. Kejawen mengajarkan bahwa sepanjang hidup manusia hendaknya laksana berada dalam “bulan suci Ramadhan”. Artinya, semangat dan kegigihan melakukan kebaikan, membelenggu setan (hawa nafsu) hendaknya dilakukan sepanjang hidupnya, jangan hanya sebulan dalam setahun. Selesai puasa lantas lepas kendali lagi. Pencapaian hidup manusia pada tataran tarekat dan hakikat secara intensif akan mendapat hadiah berupa kesucian ilmu makrifat. Suatu saat nanti, jika Tuhan telah menetapkan kehendakNya, manusia dapat ‘menyelam’ ke dalam tataran tertinggi yakni makna kodratullah. Yakni substansi dari manunggaling kawula gusti sebagai ajaran paling mendasar dalam ilmu Kejawen khususnya dalam anasir ajaran Syeh Siti Jenar. Manunggling Kawula Gusti = bersatunya Dzat Pencipta ke dalam diri mahluk. Pancaran Dzat telah bersemayan menerangi ke dalam Guru Sejati, sukma sejati. PENTINGKAH GURU SEJATI ? Peran Guru Sejati sudah jelas saya paparkan di awal pembahasan ini. Namun demikian perlu kami kemukakan betapa pentingnya Guru Sejati dalam kehidupan kita yang penuh ranjau ini. Perahu kehidupan kita berlabuh dalam samudra kehidupan yang penuh dengan marabahaya. Kita harus selalu eling dan waspadha, sebab setiap saat kemungkinan terburuk dapat menimpa siapa saja yang lengah. Guru Sejati akan selalu memberi peringatan kepada kita akan marabahaya yang mengancam diri kita. Guru Sejati akan mengarahkan kita agar terhindar dari malapetaka, dan bagaimana jalan keluar harus ditempuh. Karena Guru Sejati merupakan entitas zat atau energi kebaikan dari pancaran cahaya Illahi, maka Guru Sejati memiliki kewaskitaan luarbiasa. Guru Sejati sangat cermat mengidentifikasi masalah, dan memiliki ketepatan tinggi dalam mengambil keputusan dan jalan keluar. Biasanya Guru Sejati “bekerja” secara preventif antisipatif, membimbing kita agar supaya tidak melangkah menuju kepada hal-hal yang akan berujung pada kesengsaraan, malapetaka, atau musibah. ANASIR ASING Konsep tentang guru sejati sebagaimana ajaran Jawa, dapat ditelusuri melalui konsep sedulur papat lima pancer, dalam konsep pewayangan yang makna dan hakikatnya dapat dipelajari sebagaimana tokoh dalam Pendawa Lima (lihat dalam tulisan Pusaka Kalimasadha). Namun demikian, dalam perjalanannya mengalami pasang surut dan proses dialektika dengan anasir asing yakni; Hindu, Budha, Arab. Leluhur bangsa kita memiliki karakter selalu positif thinking, toleransi tinggi, andap asor. Sehingga nenek moyang kita, para leluhur yang masih peduli dengan kearifan lokal, secara arif dan bijaksana mereka tampil sebagai penyelaras sekaligus cagar kebudayaan Jawa. Setelah Islam masuk ke Nusantara, ajaran Kejawen mendapat anasir Arab dan terjadi sinkretisme, sedulur papat keblat kemudian diartikan pula sebagai empat macam nafsu manusia yakni nafsu lauwamah (biologis), amarah (angkara murka), supiyah (kenikmatan/birahi/psikologis), dan mutmainah (kemurnian dan kejujuran). Sedangkan ke lima yakni pancer diwujudkan dalam dimensi nafsu mulhimah (sebagai pengendali utama atau tali suh atas keempat nafsu sebelumnya. Konvergensi antara Kejawen dengan tradisi Arab disusunlah klasifikasi sifat-sifat nafsu jasadiah di atas dengan diaplikasikan ke dalam lambang aslinya yakni tokoh wayang; 1. Lauwamah = Dosomuko, 2. Amarah = Kumbokarno, 3. Supiyah = Sarpo Kenoko, 4. Mutma’inah = Gunawan Wibisono. Tulisan ini saya persembahkan kepada seluruh pembaca yang budiman sebagai penambah referensi dan informasi untuk generasi bangsa. Karena kita sadari sulitnya mendapatkan referensi sehingga seringkali dalam beberapa pembahasan maknanya menjadi salah kaprah. Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat bagi siapapun, walau sedikit dan masih banyak kekurangan di sana-sini. emoticon-Cendol (S) Rahayu; sabdalangit emoticon-Blue Guy Peace