Sunday, November 11, 2018

Atheist

- Atheist. Banyak orang berpendapat atheist adalah sisi lain dari kepercayaan pada Tuhan/theist. Namun menurutku malah lebih luas lagi. Kenapa konsep berfikir harus selalu mentok di kata Tuhan.? Aku lebih membaca pada prosesnya,yang menurutku atheist adalah antonim dari keterikatan berfikir yang dibatasi oleh aturan dari ideologi/agama yang dianut. Banyak yang beranggapan atheist tidak beragama. Tapi menurutku tidaklah demikian. Karena agama berkaitan dengan perilaku,sedang atheist merupakan pola berfikir seseorang. Memang benar atheist pola berfikir yang terlepas dari doktrin teoritis apapun. Tapi malah menuju pada kemerdekaan dalam dunia berfikirnya sendiri. Dan menunjukkan independensi dalam berekspresi dalam kehidupan. Dan tak terikat oleh teoritis apapun,hanya hasil dari proses pemikiran sendiri. Dan menunjukkan jati diri atau karakter dengan cipta karya bukan sebatas membenarkan teori yang membenarkan tidak adanya Tuhan. Jadi Atheist menurutku,adalah ketika pola berfikir sudah selesai dengan teori / Tuhan, dan mampu menciptakan pencerahan sendiri,dengan membaca keadaan. Karena theist tidak akan sampai pada titik itu,karena masih terpenjara aturan. Maka dari itu atheist adalah wacana perubahan dan pembaharuan,supaya kehidupan bisa bersinergi dengan alam. Bila dilihat dari sini, bisa siapa saja tanpa terkecuali sampai pada atheist. Yaitu kemerdekaan dalam intuisinya demi menuju perbaikan dalam kehidupan. Bisa juga manusia beragamapun, ketika pola berfikirnya sampai pada kemerdekaannya. Sebagai contoh manusia beragama,ketika dia berani mempelajari konsep ketuhanannya,dan dia benar benar tahu hakikatnya,bisa dipastikan dia akan selesai dengan percaya dan tidak percaya pada Tuhan. Yang ada dia akan mencoba bereksperimen dengan penyatuan dirinya dengan alam,untuk melakukan sebuah perubahan kemanusiaan dalam mengikuti dinamika alam. Theist dengan bermedia Tuhan dan mendalami wilayah terlarang agama yaitu ketuhanan,akan sampai pada titik atheist juga. Agama hanya sebatas identitas dalam penempatan diri di masyarakat. Apa gunanya theist dan atheist kita kalau masih terikat teori tak berujung. Seharusnya dengan bukti cipta karya yang bermanfaat pada umat manusia. Juga menjadi penerang pada kegelapan hati para umat manusia. Atheist atau theist tetaplah manusia. Dan kemanusiaan adalah nilai pengikat keduanya.

Friday, November 9, 2018

KITAB TANTU PANGGELARAN Karya Sastra Jawa Pertengahan muncul pada masa Kerajaan Majapahit, mulai dari abad ke-13 sampai kira-kira abad ke-16. Pada masa ini muncul karya-karya puisi yang berdasarkan metrum Jawa atau Indonesia asli. Karya-karya ini disebut kidung. Salah satu contohnya adalah Tantu Panggelaran yang akan dibahas secara lebih lanjut. Tantu Panggelaran adalah sebuah teks prosa yang menceritakan tentang kisah penciptaan manusia di pulau Jawa dan segala aturan yang harus ditaati manusia. Tantu Panggelaran ditulis dalam bahasa Jawa Pertengahan pada zaman Majapahit. Yang kemudian telah diteliti pada tahun 1924 di Leiden oleh Dr. Th. Pigeaud. Tantu Panggelaran terdiri atas mitos-mitos yang berhubungan dengan penciptaan dan menyebarnya mandala-mandala (tempat-tempat suci), dan Bhimasuci (juga dikenal sebagai Dewaruci). Mitos tentang penciptaan ini, antara lain manusia pertama di pulau Jawa, adanya rumah sebagai tempat tinggal, adanya pekerjaan sebagai mata pencaharian manusia, pakaian, perhiasan, dan lain-lain hingga terjadinya kesempurnaan keseimbangan dalam kehidupan manusia dan alam semesta, hal ini merupakan sinkretisme yang terjadi dari latar belakang budaya yang berpengaruh pada saat Tantu Panggelaran diciptakan. Yang menarik perhatian adalah bagaimana isi naskah itu menggambarkan alam pikiran pengarangnya yang hidup pada masa tertentu dalam suatu lingkungan yang khusus dengan memunculkan berbagai identitas budaya (Jawa, Hindu, Buddha) yang memiliki toleransi hidup berdampingan dengan damai. Berdasarkan edisi teks yang telah dikerjakan oleh Pigeaud, naskah yang dipilih olehnya didasarkan pada kenyataan bahwa naskah itu merupakan satu-satunya di antara semua naskah yang ada yang memiliki kolofon dan berangka tahun. Kolofon tersebut, dalam transliterasi Pigeaud berbunyi: Iti sang hyang Tantu panglaran, kagaduhana de sang mataki-taki, kabuyutan ing sang Yawadipa, caturpakandan, caturpaksa, kabuyutan ring Nanggaparwwata. Muwah tanpasasangkala, mulanikang manusa Jawa, duk durung sang hyang Mahameru tka ring Jawa, sawusira tibeng Jawa: mangkana nimitanya tanpasasangkala, reh yan ing purwwa. Tlaç [s]inurat sang hyang Tantu panglaran ring karang kabhujangggan Kutritusan, dina u(manis) bu(dha) madangsya, titi caci kaca, rah 7, tenggek 5, rsi pandawa buta tunggal: 1557. Kutipan di atas, memaparkan bahwa penulis/penyalin teks ini tinggal di suatu karang kabhujanggan, yaitu suatu lokasi khusus tempat tinggal para bhujangga (penyandang tugas keagamaan), Kutritusan namanya. Dinyatakan pula bahwa kitab ini hendaknya menjadi milik mereka (para pertapa) yang “menjalani upaya (ritual keagamaan) dengan penuh perhatian” (mataki-taki) di tempat-tempat suci kuna (kabuyutan) di Jawa. Jelaslah bahwa dari pembacaan terhadap seluruh teks Tantu Panggelaran, ternyata teks ini sama sekali tidak mengacu atau menunjukkan pernyataan keterlibatan apapun dengan kalangan raja dan bangsawan. Maka dapat dikatakan bahwa teks ini dibuat untuk kalangan keagamaan di luar lingkungan kehidupan kraton. Sedangkan Angka tahun 1557 Çaka adalah 1635 M. Menurut Zoetmulder dalam Kalangwan (1983: 59), Tantu Panggelaran digolongan ke dalam naskah Jawa Kuna. Menurut Sedyawati (2001) TP merupakan sebuah teks berbahasa Jawa Kuna yang muda, sedangkan Poerbatjaraka dalam Kapustakan Djawi (1952) mendaftar Tantu Panggelaran termasuk karya sastra zaman Jawa Pertengahan. Namun dalam kolofon tersebut tidak dinyatakan apakah tahun tersebut merupakan tahun penulisan atau penyalinan naskah. konsep-konsep yang terdapat di dalam Tantu Panggelaran merupakan pengaruh ajaran Hindu yang terbawa dari India, sedangkan agama Hindu ketika itu (di India) memiliki dasar ajaran dari agama Buddha, sehingga secara tidak langsung ajaran-ajaran yang terdapat di dalam Tantu Panggelaran sekaligus mendapatkan pengaruh agama Buddha. Jejak pengaruh India itu terungkap jelas dalam cerita Tantu Panggelaran, terutama dalam pengungkapan di awal ceritanya, seperti kutipan berikut: …. Yata matangnyan hengang henggung hikang nusa Jawa, sadala molah marayegan, hapan Tanana sang hyang Mandarparwwata, nguniweh janma manusa. Yata matangnyan mangadeg bhatara Jagatpramana, rep mayugha ta sira ring nusa Yawadipa …; yata matangnya hana ri Dihyang ngaranya mangke, tantu bhatara mayugha nguni kacaritanya. Malawas ta bhatara manganaken yugha, motus ta sira ri sang hyang Brahma Wisnu magawe manusa. …. “Uduh kamu kita hyang dewata kabeh, rsigana, curanggana, widyadara, gandarwwa, laku pareng Jambudipa, tanayangku kita kabeh, alihakna sang hyang Mahameru, parakna ring nusa Jawa, makatitindih paknanya marapwan apageh mari enggangenggung ikang nusa Jawa, lamun tka ngke sang hyang Mandaragiri. Laku, tanayangku kabeh!” Dinyatakan bahwa pada saat itu pulau Jawa masih berguncang ke sana ke mari, selalu bergerak berpindah-pindah sebab tidak ada gunung-gunung (Tanana sang hyang Mandaraparwwata), bahkan belum ada manusia (nguniweh janma manusa), maka batara Jagatpramana (nama lain batara Guru) bersemadi (mayugha) di pulau Jawa, di Dihyang tepatnya, sekarang tempat tersebut dikenal dengan nama Dieng. Setelah batara Guru selesai melakukan semadi, kemudian memerintahkan hyang Brahma dan Wisnu untuk menciptakan manusia (motus ta sira ri sang hyang Brahma Wisnu magawe manusa). Selanjutnya dipaparkan tentang perintah Batara Guru memindahkan gunung Mahameru yang berasal dari Jambudwipa (=India) ke pulau Jawa untuk dijadikan sebagai tindihnya, agar pulau Jawa berhenti bergerak berpindah-pindah. Memperhatikan cerita tersebut di atas, dengan memindahkan gunung Mahameru dari India ke pulau Jawa, memungkinkan terjadinya proses Indianisasi. Mahameru yang dianggap sebagai titik pusat alam semesta itu, kemudian dipindah ke pulau Jawa untuk digunakan sebagai poros kekuatan gunung dari gunung-gunung lain. Gunung-gunung lain itu terjadinya dari serpihan tanah yang runtuh dari gunung Mahameru ketika dipindahkan, yaitu gunung Kelasa, Wilis, Kampud, Kawi, Arjuna, Kumukus, dan lain sebagainya. Berdasarkan paparan di atas, bahwa dalam Tantu Panggelaran terdapat pengaruh-pengaruh agama Hindu dan Buddha sekaligus serta terungkapkan jejak-jejak Indianisasi dari transformasi budaya dan politik ketika gunung Mahameru dipindahkan. Kisah Tantu Panggelaran dapat dibagi menjadi beberapa babak: 1. Awal Keberadaan Pulau Jawa Pada mulanya pulau Jawa tidak berpenghuni dan dalam keadaan khaotis, karena pulau Jawa selalu bergoncang (bandingkan dengan batu apung yang bergoncang di atas permukaan air). Oleh karena itu, pulau Jawa membutuhkan gunung untuk menancapnya, sehingga tidak bergoncang lagi. Gunung tempat Batara Guru mengatur keadaan yang khaotis ini adalah Gunung Dihyang (atau Gunung Dieng, lihat artikel tentang Gunung Dieng). Proses pengaturannya berjalan sebagai berikut: para Dewa mengangkat puncak gunung Mahameru (Gunung Semeru) dari India dan ditempatkan di sebelah barat pulau Jawa. Namun yang terjadi adalah, bahwa pulau Jawa terjungkit dan sebelah timur pulau Jawa terangkat ke atas. Oleh karena itu para dewa memindahkannya ke sebelah timur, tetapi dalam perjalanan pemindahan gunung itu ke sebelah timur, gunung tersebut berceceran di sepanjang jalan, sehingga terjadilah gunung Lawu, Wilis, Kelut, Kawi, Arjuna, Kumukus dan pada akhirnya Semeru. Setelah itu keadaan pulau Jawa tidak bergoncang lagi. 2. Penciptaan Manusia Setelah pulau Jawa tidak lagi bergoncang, Batara Guru mempunyai keinginan untuk membuat manusia sebagai penghuni pulau Jawa. Untuk itu dia memerintahkan Batara Brahma dan Batara Wisnu menciptakan manusia. Mereka menciptakan manusia dari tanah yang dikepal-kepal lalu dibentuk manusia berdasarkan rupa dewa. Brahma menciptakan manusia laki-laki dan Wisnu menciptakan manusia perempuan, yang kemudian kedua manusia ciptaan para dewa tersebut dipertemukan dan mereka hidup saling mengasihi. 3. Proses Terjadinya Peradaban Manusia Pada mulanya manusia yang diciptakan oleh batara Brahma dan bathara wisnu masih telanjang karena tidak dapat membuat pakaian, tidak tinggal di dalam rumah, tidak dapat berbicara, oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa manusia pertama yang tinggal di pulau Jawa tidak mempunyai peradaban. Untuk itu para dewa diberi tugas oleh Batara Guru untuk "memberi pelajaran" kepada manusia, supaya mereka dapat membuat pakaian, membuat rumah, dapat berbicara antara satu sama lainnya. Pada intinya para dewa mengajar manusia Jawa tentang budaya dan peradaban. Contoh yang dikutip dari kitab Tantu Panggelaran untuk Babak ini: Demikianlah kata Bhatara Mahakarana (istilah lain dari Batara Guru): Anakku, Brahma, turunlah engkau ke Pulau Jawa. Pertajamlah benda-benda tajam, misalnya: panah, parang, pahat, pantek, kapak, beliung, segala pekerjaan manusia. Engkau akan disebut pandai-besi. Engkau akan mempertajam benda-benda tajam itu di tempat yang bernama Winduprakasa. Ibu jari (kw. empu) kedua kakimu mengapit dan menggembleng, besi anak panah dikikir. Panah itu menjadi tajam oleh ibu jari kedua kaki, maka dari itu engkau akan disebut Empu Sujiwana sebagai pandai-besi, karena ibu jari/empu dari kakimu mempertajam besi. Oleh karena itu, tukang pandai-besi disebut empu, karena ibu jari kakimu menjadi alat bekerja. Demikianlah pesanku kepada anakku. Lagi pesanku kepada anakku Wiswakarmma. Turunlah ke Pulau Jawa membuat rumah, biar dirimu ditiru oleh manusia. Sebab itu, engkau dinamai Hundahagi (membangun). Adapun engkau Iswara. Turunlah ke Pulau Jawa. Ajarlah manusia ajaran berkata-kata dengan bahasa, apalagi ajaran tentang Dasasila (sepuluh hal yang utama) dan Pancasiska (lima hukum/tata tertib). Engkau menjadi guru dari kepala-kepala desa, sehingga engkau dinamai Guru Desa di Pulau Jawa. Adapun engkau Wisnu. Turunlah engkau ke Pulau Jawa. Biarlah segala perintahmu dituruti oleh manusia. Segala tingkah lakumu ditiru oleh manusia. Engkau adalah guru manusia, hendaknya engkau menguasai bumi. Adapun engkau Mahadewa, turunlah engkau ke Pulau Jawa. Hendaknya engkau menjadi tukang pandai emas dan pembuat pakaian manusia. Bhagawan Ciptagupta hendaknya melukis dan mewarnai perhiasan, serta membuat hiasan yang serupa dengan ciptaan, menggunakan alat ibu jari tanganmu. Oleh karena itu engkau akan dinamai Empu Ciptangkara sebagai pelukis. Latar Belakang Budaya Dalam ajaran agama Hindu dan Budha dikenal adanya konsepsi makrokosmos (susunan alam semesta) bahwa alam semesta berbentuk lingkaran pipih seperti piringan dengan gunung Mahameru sebagai pusatnya. Mahameru yang dimaksud adalah gunung dalam konsepsi ajaran Hindu, yang dianggap sebagai titik pusat alam semesta. Pada mulanya Mahameru terletak di benua Jambudwipa (India). Benua tersebut merupakan tempat hidup manusia, hewan dan tumbuhan, sedangkan di lerengnya terdapat hutan lebat tempat tinggal berbagai binatang yang mempunyai mitos dan para pertapa. Sejak jaman agama Hindu dan Budha berkembang di Jawa, masyarakat sudah menganggap keramat gunung tersebut. Dalam Tantu Panggelaran disebutkan gunung Mahameru yang dibawa ke pulau Jawa itu, bernama gunung Pawitra. Menurut Lestari (1976) gunung Penanggungan yang terdapat di Jawa Timur tepatnya di Kabupaten Mojokerto, dahulunya dikenal dengan nama gunung Pawitra dalam kepercayaan masyarakat Jawa adalah salah satu perwujudan konsepsi makrokosmos tersebut karena gunung itu diyakini sebagai salah satu puncak Mahameru yang dipindahkan oleh dewa penguasa alam. Dan hingga kini gunung Penanggungan masih dianggap keramat oleh masyarakat sekitarnya, karena bentuk gunung Penanggungan merupakan salah satu gunung yang berarti kabut dengan puncaknya yang runcing selalu tertutup kabut, yang lain daripada gunung-gunung lainnya. Menurut Santiko (Kompas, 14 Januari 2009) Kitab Tantu paggelaran yang muncul pada masa Majapahit ini merupakan kitab multikultural, mengingat Majapahit adalah kerajaan agro-maritim yang juga multikultural. Perdagangan terjadi, baik lokal, antarpulau, atau internasional, melibatkan pedagang dari berbagai daerah. Hal ini menciptakan kondisi multikultural di Majapahit yang menjadi situs pertemuan dan percampuran aneka unsur budaya “pendatang” dan lokal. Kondisi multikultural ini terjalin dengan proses-proses politik di Majapahit, sejalan dengan ”proyek politik Nusantara” Gajahmada untuk memperluas dan menyatukan wilayah Majapahit, yang dicetuskan sebagai ”Sumpah Palapa” di hadapan Ratu Tribhuwanotunggadewi, ibu Raja Hayam Wuruk. Dinamika politik-budaya ini dipertahankan, khususnya oleh Raja Hayam Wuruk yang mempertahankan hegemoni Majapahit meski harus bekerja sendiri selama 25 tahun. Dengan wafatnya Hayam Wuruk tahun 1389, kerajaan Majapahit memudar karena ada konflik internal, perebutan kekuasaan. Meski demikian, kondisi multikultural tetap dipertahankan, khususnya dalam bidang agama. Hayam Wuruk dan raja-raja Majapahit lainnya amat menghargai multiagama yang berkembang saat itu. Di dalam Tantu Panggelaran hubungan makrokosmos (alam semesta) dan mikrokosmos (manusia) saling memberikan keseimbangan dari pencapaian kesempurnaannya masing-masing. Tantu Panggearan memberikan gambaran sebagai salah satu karya sastra yang merepresentasi kehidupan multikultural dalam cerita. Misalnya seperti kutipan di bawah ini: Hana ta brahmāna sakeng Jambuddipa, sang hyang Tkěn-wuwung aranya; anggaganacara anūtta lari sang hyang Mahāmeru. Manwan ta tejā putih: “Ika pawitra nggoning sang hyang” lingnira. Anger ta sira luhurning thirtha mili maring Sukāyajnā; tuminghal ta sang hyang Içwara: “Jah sang brahmāna” … “haywa sira hangher hing ruhuring kene. Tunggal hikang bañu hiki, sugyan kita rinangkusa, acěpěl tikang bañu. Pamet hunggon maneh, hangruhuri dahat kita”. Ndah paksa tinaggehan sang brahmāna; kewalya juga tanangga, … metu cirinya tan yogya. Awamana ri sang pandita, …, angising taya ring bañu: “Kadi wruhanira sang panddita” lingnira “Yan mamyāngising ring lwah.” … tuminghal ta bhatareçwara: “Uduh, rinangkusa hikang brahmāna, keli tahine sne. Ih, waluya ta ko, bañu, pareng natare dang hyang Tkěn-wuwung!” …. Mwajar dang hyang Tkěn-wuwung: “Ih, bañu mili maring natar, ising mangan tayang mami, huni wus lepas keli, mangke ta munggwing natar. ,,,. Ih, çakti tmen sang pāndita!” Rěp datang dang hyang Tkěn-wuwung ri kahanan sang hyang Içwara: “Uduh sangtabya ranak sang pāndita; …. Mapa kalinganya?” Sumahur bhatāra Içwara: “Ah, rinangkusa tan sipi dahat, harih, …. …. “Lah, sang brahmāna yan ahyun warahen, lamun si kita haywa salah rūpa; den tunggal kang warnna; pawiku kita hiri kami, manandanga hupakāra bhatāra, matangnyan tunggal kang warnna.” “Uduh, bhagawan yan mangkana, pwangkulun.” Wilaça laksana ning wiku; rěp sdang sinangaskāra sang brahmāna, kinen çiwopakārana; inaranan mpu Siddayogi. Winarah ring upadeça de bhatareçwara. Kutipan di muka, mengisahkan tentang hadirnya seorang brahmana berasal dari India yang bernama Teken-wuwung ke pulau Jawa pada saat ia mengikuti pemindahan gunung Mahameru. Kisah ini menggambarkan bahwa pemindahan Mahameru ke tanah Jawa, disertai masuknya budaya India yang dibawa oleh sang brahmana. Namun ketika tindakan sang brahmana menyalahi tatanan masyarakat dan lingkungan setempat, maka ia harus menyesuaikan diri dengan budaya yang berada di lingkungan tempat tinggalnya. Tatanan masyarakat yang disesuaikan adalah sang brahmana disucikan kembali oleh pendeta Siwa sebagai seorang wiku di tanah Jawa dengan berganti nama Sidayogi. Dan pada tatanan lingkungan, sang brahmana tidak diperkenankan mengotori aliran sungai dari pegunungan dengan perlakuannya yang tidak pada tempatnya/tidak senonoh (buang air besar). Kisah tersebut menggambarkan hubungan makrokosmos dan mikrokosmos serta akulturasi budaya dalam sebuah keseimbangan yang ditata demi keselarasan kehidupan. Gunung Mahameru sebagai titik pusat alam semesta dan tatanan lingkungan hidup yang diwakili oleh sungai yang mengalir dari daerah pegunungan merupakan makrokosmos. Manusia yang berada di lingkungan itu berselaras dengan keadaan sekitar agar dapat terus menjaga keseimbangan merupakan gambaran mikrokosmos. Hubungan timbal balik di antara keduanya dapat mewujudkan harmonisasi dalam kehidupan dengan proses akulturasi pada aspek budaya. Proses akulturasi yang terjadi dalam kisah ini adalah penyesuai budaya India terhadap budaya Jawa dalam konsep agama Hindu, yang diwakili oleh pendeta Siwa, dan agama Buddha, yang diwakili oleh sebutan bagi sang brahmana setelah disucikan, Sidayogi. 5 Yogi adalah istilah yang dikenal untuk penyebutan para suci dalam agama Buddha. Dalam Tantu Paggelaran, peristiwa-peristiwa tersebut digambarkan dalam kisah-kisah yang berkaitan dengan penggambaran tentang nama tokoh-tokoh, misalnya seperti para bathara, sidaresi, hyang, dewa, atau wiku, dan lain sebagainya. Dikisahkan bahwa pencapaian kesempurnaan manusia dilakukan dengan pancagati sangsara (dari manusia disucikan menjadi wiku, lalu menjadi dewa, hyang, sidaresi, dan terakhir menjadi bhatara) sebagai pelepasan diri manusia melalui lima tingkat penjelmaan dalam rangka lingkaran lahir kembali, seperti kutipan di bawah ini: Mojar ta bhatāra Guru: “Kapan ta kang manusa limpada sakeng pañcagati sangsara? Dawning makāryya mandala panglpasana pitarapāpa. Antuk aning manusa mangaskara hayun wikuha; matapa sumambaha dewata, dewata suměngkaha watěk hyang, watěk hyang suměngkāha siddārsi, siddārsi suměngkāha watěk bhatāra. Lena sakerikā hana pwa wiku sasar tapabratanya; tmahanya tumitis ing rāt, mandadi ratu cakrawarthi wiçesa ring bhuwana, wurungnya mandadi dewata. Matangnyan wuwurungan dewata prabhu cakrawarthi, apan tmahan ing wiku sasar tapabratanya hika. Matangnyan ta kita, hyang Wisnu, pangaskārani kanyu!” Dalam agama Hindu, konsep tersebut dikenal dengan sebutan reinkarnasi sebagai kelahiran kembali sesuai dengan karma manusia, sedangkan dalam agama Buddha pelepasan diri manusia mencapai nirwana melalui dharma. Dalam setiap kenaikan dalam tingkatan tapa itu, masing-masing harus melalui pensucian kembali hingga di akhir pencapaian menjadi batara yang telah melepaskan diri dari segala kegiatan yang bersifat duniawi. Hal ini merupakan pelepasan diri dari kesengsaraan untuk mencapai kebahagiaan abadi. Dalam agama Buddha dikenal Samsara adalah titik pencapaian satu kesatuan kesadaran antara makrokosmos dan mikrokosmos, yaitu nirwana. Memperhatikan kisah tersebut, dapat diketahui bahwa konsep pancagati sangsara itu merupakan ajaran yang berasal dari agama Buddha. Tantu Panggelaran banyak menyebutkan nama-nama tempat dari yang pertama dibangun, mandala Sarwasida hingga yang terakhir mandala Hahah yang berada di sekitar gunung Mahameru (Pawitra). Pembangunan selanjutnya adalah dari masing-masing para suci yang telah menerima wewenang dari Bhatara Guru. Demikian pula, banyak mitos tentang dewa-dewi yang tidak pernah didengar di India dijumpai di Jawa, misalnya hyang Kandyawan, sang Mangukuhan, sang Sandang Garba, sang Katung Malaras, sang Karung Kalah, sang Wreti Kandayun, batari Sri, sang hyang Ketek-meleng, batari Smari, batari Uma, dan lain-lain. Orang Majapahit dengan sadar menciptakan dewa-dewi baru, dan dalam karya sastra bernama Tantu Panggelaran secara implisit disebut perubahan terjadi karena ”dewa-dewa Jambhudwipa telah menjadi dewa-dewa Jawa”, disebabkan oleh pemindahan puncak gunung Mahameru ke Pulau Jawa. Akhirnya, seperti juga halnya yang dialami oleh agama-agama lain, Hinduisme mengalami tarik-menarik antara ide universalisme dan lokalitas, serta antara pendekatan purifikasi dan pendekatan budaya. Sejarah agama-agama besar penuh dengan cerita gerakan purifikasi yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari dialektika keagamaan dan relasi kuasa. Namun dengan terkuaknya Tantu Panggelaran dapat dilihat bahwa tidaklah demikian keadaannya. Yang paling terlihat adalah dengan pemindahan gunung Mahameru dari India ke Jawa, merupakan gambaran yang jelas dari adanya pengaruh agama yang terbawa. Bahkan tidak hanya agama, namun juga budaya dan politik yang menyertainya. Meskipun demikian, hal itu tetap dapat diterima sebagai sesuatu yang berharga dari warisan budaya Indonesia, dan patut dipelajari lebih dalam untuk dipetik manfaatnya.