Monday, August 26, 2013
Wednesday, August 21, 2013
SUBUD dan SUMARAH
Kedua gerakan, Subud dan Sumarah, sering digambarkan sebagai cabang dari pohon rohani yang sama. Telah dikatakan bahwa pendiri kedua gerakan ini pernah bersatu dalam satu kelompok tunggal, yang kemudian terpecah menjadi dua gerakan yang sedikit berbeda.
Dalam tesis doktornya dari tahun 1980, sejarawan Paul D. Stange menyatakan:
"Meskipun pendiri [dari Sumarah] tidak berusaha untuk membedakan inti dari praktek mereka dari Subud ini, ada alasan untuk mencurigai kontras dalam gaya pribadi dan penekanan dari awal. Meskipun ada perbedaan, dua gerakan tetap sepupu dekat dalam keluarga besar kebatinan. Mereka berbagi stres yang sama pada praktek daripada ajaran, pada penyerahan total kepada Allah, dan dari realitas pengalaman yang ditransmisikan dan disaksikan ".
Ini adalah pendapat obyektif disajikan dalam sebuah makalah ilmiah membahas asal-usul Sumarah. Tampaknya jelas bahwa Subud dan Sumarah terhubung, tapi bagaimana? Apa kesamaan, dan apa yang tidak?
Latar belakang dan sejarah
Muhammad Subuh mengalami wahyu pertama pada tahun 1925, diikuti oleh tiga tahun menerima latihan kejiwaan hampir setiap malam. Pada 1932 ia punya pengalaman lain spiritual yang kuat bahwa ia kemudian disebut sebagai kenaikan-Nya, dan tak lama setelah itu dia mulai transmisi latihan kepada orang lain. Pada tahun 1934, ketika Bapak masih tinggal di Semarang, sebuah kelompok kecil terbentuk di sekitar Yogyakarta murid pertamanya, Wignosuparino, yang, meskipun usianya masih muda, telah memenangkan reputasi tertentu sebagai penyembuh. Yang termasuk kelompok ini Pravirodisastra, Sumantri dan Sudarto Martohudoyo (diketahui anggota Subud tua-waktu untuk cerita aneh nya di berkala Pewarta Kejiwaan Subud), Sukinohartono, yang kemudian menjadi pendiri Sumarah, dan rekannya Suhardo dekat. Pada saat ini praktik Subud belum terkristalisasi dan tidak ada organisasi yang jelas. Kita tahu dari tulisan Sudarto bahwa ada hubungan yang dekat. Tampaknya Pak Subuh dan Sukino saling mengenal dengan baik, keduanya menjadi murid kiai Seh Abdurachman, guru sufi yang pernah mengatakan kepada kaum muda pencari Muhammad Subuh bahwa ia tidak bisa mengajarinya apa-apa, bahwa ia akan menerima ajarannya langsung dari Allah. Dan ketika Bapak pada tahun 1935 memutuskan untuk menyewa sebuah rumah di Yogyakarta, ia tidak menulis ke Wignosuparino, tetapi untuk Sukino, yang ia diminta untuk melakukan ini untuknya.
Dalam sebuah surat kepada Hussein Rofe pada tahun 1953, Pak Subuh menegaskan bahwa Sukinohartono dibuka oleh Pravirodisastra tahun 1934, dan bahwa praktek Sumarah (menyerah) adalah sama seperti yang dari Subud. Dalam kaitannya dengan sistem atau ajaran Sumarah, Bapak menyatakan: "Nya komentar [Sukino yang] pada Tujuh Surga dan hal-hal seperti ini telah diperoleh baik dari cerita-cerita dari Sembilan Sages, atau dari sebuah buku yang saya tulis sendiri pada tahun 1934, disebut Jatimakna atau 'Makna Benar'. "
Ada banyak persamaan dalam kehidupan awal Sukino dan Pak Subuh. Keduanya lahir ke dalam budaya desa di Jawa dan tradisi Islam. Keduanya menerima beberapa pendidikan menengah dan bekerja untuk perusahaan-perusahaan Belanda dan pemerintah daerah. Keduanya mengangkat keluarga besar di awal dua puluhan, dan keduanya menghubungi beberapa guru Sufi dalam mencari pengalaman mistik. Dan kita tahu dari otobiografi Bapak dan catatan Sumarah bahwa mereka akan mendapatkan jawaban yang sama: kiai punya apa-apa untuk mengajar mereka. Pengajaran akan datang dari dalam, langsung dari Allah. Jawaban ini tidak berarti bahwa orang yang diajak bicara, murid, dianggap memiliki kekuatan khusus atau menjadi unggul rohani dengan cara apapun. Pesan ini adalah pengajaran, inti dari mistisisme, dan telah disampaikan kepada anggota Subud dan Sumarah.
Rupanya, Sukino dianggap pembukaan dalam apa yang kemudian menjadi Subud dan praktek tentang latihan tersebut sebagai persiapan. Perkembangan spiritual aslinya dimulai dengan wahyu-Nya pada tahun 1935, yang menyebabkan dia untuk menemukan Sumarah dan berbagi pengalaman dengan orang lain.
Praktek dan organisasi
Subud: Bapak telah memberikan penjelasan umum tentang latihan dalam banyak bicara, tetapi tidak ada instruksi apapun selama latihan, dan tidak ada interaksi antara anggota selama sesi latihan, setiap peserta menerima untuk dia / dirinya sendiri. Latihan ini berlangsung selama setengah jam. Tidak ada larangan berbicara tentang seseorang menerima sesudahnya, tetapi, sebagai suatu peraturan, kebanyakan orang tidak.
Sumarah memiliki pertemuan yang agak panjang, biasanya tiga jam. Para anggota kelompok (dari lima sampai seratus orang) mendiskusikan masalah dalam meditasi dan kehidupan sehari-hari, dan pamong atau "panduan" memutuskan kapan untuk memulai dan menghentikan meditasi. Biasanya ada dua meditasi selama sesi.
Sumarah tergantung pada komunikasi verbal selama sesi sementara Subud tidak. Fakta ini saja pergi jauh untuk menjelaskan mengapa Subud telah menyebar ke separuh negara di dunia, sementara Sumarah terutama tetap merupakan gerakan Indonesia, meskipun fakta bahwa dalam beberapa tahun terakhir, kelompok Sumarah telah dibentuk di banyak negara Barat.
Subud telah tumbuh menjadi demokrasi perwakilan, dengan Kongres Dunia sebagai otoritas tertinggi, dan latihan kejiwaan dipraktekkan dengan cara yang sama di seluruh dunia. Kelompok Sumarah lebih dibedakan, dibentuk oleh kepribadian pamong setempat. Pelatihan Sumarah menggunakan self-observasi, analisis diri, dan koreksi diri. Dalam hal ini, Sumarah beruang lebih mirip dengan, misalnya, karya Gurdjieff daripada Subud.
Paul D. Stange mencirikan Subud dan Sumarah sebagai sepupu dekat. Ini mungkin benar jika kita melihat hanya pada latar belakang budaya dan praktek awal. Dalam beberapa tahun kemudian, bagaimanapun, perbedaan dalam organisasi dan praktek oleh membayangi jauh kesamaan. Anggota Sumarah seharusnya terima melalui pamong atau pemimpin kelompok, yang terus-menerus pelatih mereka secara bertahap selama pertemuan dan meditasi. Setiap kelompok dibentuk dalam citra pemimpinnya, sesuai dengan tradisi Jawa. Dengan cara ini pembaharuan pasti terjadi, tetapi bersama-sama dengan ini, ada bahaya dari penyimpangan yang besar dari jalur asli.
Dalam Subud, kemungkinan penyimpangan tersebut jauh lebih sedikit. Selama periode tiga puluh tahun Muhammad Subuh berkeliling dunia, konsolidasi kelompok dan memberikan sekitar 1500 berbicara jelas tentang Subud dan latihan, sebagian besar yang telah dicatat dan diumumkan. Dia sendiri adalah panduan spiritual, dan ia tidak punya penggantinya, atau lebih tepatnya, semua anggota harus menjadi seperti dia: "Mudah-mudahan, Anda semua akan menjadi seperti Bapak. Tidak salinan Bapak, tapi dapat menerima dirimu sendiri. "Dia berperan penting dalam membangun sebuah organisasi di seluruh dunia bahwa setelah kematiannya pada tahun 1987 telah menjadi bahkan lebih terkonsolidasi. Latihan adalah sama di seluruh dunia, meskipun perbedaan bahasa, budaya, atau agama. Sebuah Rusia dapat berjalan langsung ke kelompok latihan di Angola, Kolombia, atau Norwegia, tanpa memahami kata-kata bahasa, dan melakukan latihan bersama-sama dengan orang lain, merasa sempurna di rumah.
Meskipun impuls awal penyerahan kepada Tuhan masih terjadi di kedua gerakan, jelas bahwa Subud dan Sumarah terus berkembang lebih lanjut selain. Sumarah adalah kolektif, para anggota yang dipimpin ke arah yang sama oleh pemimpin pamong atau kelompok, dan pada saat yang sama melakukan diversifikasi, setiap pamong mengejar gaya yang berbeda. Dalam Subud, tidak ada panduan tersebut untuk melatih anggota melalui latihan tersebut. Setiap peserta menerima secara langsung untuk dia / dirinya sendiri. Pada saat yang sama, ada rasa yang kuat persatuan, yang timbul dari berbagi pengalaman dari latihan dan diperkuat oleh struktur organisasi demokratis Subud. Petugas International dipilih untuk jangka waktu empat tahun, dan pertemuan internasional, termasuk kongres dunia, terbuka untuk semua anggota, selain memiliki sistem delegasi.
Karya referensi:
Paul Stange Denison: "Gerakan Sumarah dalam Tasawuf Jawa", tesis doktor dalam sejarah di University of Wisconsin, 1980.
Tesis doktor antropolog David Gordon Howe, "Sumarah: Sebuah Studi di Art of Living", University of North Carolina, 1980.
Sumarah
Sebuah disertasi (DGHowe) dan tesis (Paul Stange) telah dibuka untuk persaudaraan ini. Pendirinya, Sukinohartono, dibuka oleh Subud helper Wignosupartono. Yang terakhir ini dikenal karena kekuatan penyembuhan dan juga orang pertama yang dibuka oleh Pak Subuh, pendiri Subud. Sukinohartono sendiri memiliki wahyu pada tahun 1932 dan menjalani serangkaian pengalaman dari 1935 sampai 1937. Setelah pembersihan intens Sukino diberikan untuk memahami bahwa ia akan menerima bimbingan melalui hakikat dan malaikat Jibril. Ia diambil secara berurutan melalui sembilan tahap spiritual. Stange, "Dimensi ia melewati paralel alam dibahas dalam sastra mistik klasik dan dijelaskan dalam wayang dan tasawuf."
Subud
Pada zaman kolonial Pemerintah Belanda terus mata yang tajam pada gerakan-gerakan ini termasuk persaudaraan Sufi tarekat yang kerap menimbulkan pemberontakan dipecat oleh harapan mesianis dan seributahunan. Pemerintah Indonesia mengikuti kebijakan ini karena takut infiltrasi komunis ke dalam kelompok-kelompok ini. Untuk mengawasi mereka itu diperlukan gerakan mistik (Aliran kepercayaan) untuk didaftarkan.
Pada tahun 1947 Subud telah didaftarkan di Yogyakarta sebagai yang didirikan di Semarang pada 1932. Biro Pengawasan Gerakan Agama (Pakem) di bawah Departemen Agama memiliki 360 gerakan yang terdaftar pada tahun 1964. Pada tahun 1982 ada sembilan puluh tiga kelompok dengan total 123.570 anggota di Jawa Tengah saja.
Pangestu mengklaim memiliki 50.000 anggota, Sapta Darma, 10.000.
Beberapa aliran kebatinan (nama lain untuk gerakan spiritual) yang bersandar terhadap Islam suka yang disamakan dengan sekte Jawa yang lebih jelas yang tidak menolak terhadap guna-guna, Jawa praktek ilmu hitam. Kelompok ini terbentuk di sekitar seorang guru yang mengaku telah menerima pencerahan (wahyu). Ratusan kelompok tersebut diketahui ada. Guru mereka biasanya mengklaim orisinalitas bagi wahyu atau wawasan intuitif dan menolak pengetahuan dari buku atau pengaruh tradisi. Ketika guru meninggal, kelompok sering larut.
Sunday, August 18, 2013
dari Navias Tanjung tentang Subandrio
PENGAKUAN DR SOEBANDRIO TENTANG KEJAHATAN SOEHARTO.
Agar lebihjelas, saya paparkan sekilas biografi saya. Saya lahir di Kepanjen (selatanMalang), Jatim, 15 September 1914. Ayah saya, Kusadi, adalah Wedono Kepanjen.Ibu saya, Sapirah, adalah ibu rumah tangga biasa. Saya adalah anak kedua darienam bersaudara.
Sayadibesarkan dalam keluarga Islam yang taat. Untuk ukuran posisi ayah di desakecil Kepanjen saat itu, keluarga kami cukup terhormat. Masa kanak-kanak sayahabiskan di Kepanjen. Saya sekolah di SR (Sekolah Rakyat setingkat SD) di sana.
Lulus SR,saya masuk MULO (setingkat SMP) di Malang. Sebab, saat itu di Kepanjen belumada sekolah MULO. Lulus MULO saya lanjutkan ke AMS tahun 1928. Saya masuksekolah terlalu dini, sehingga pada usia 14 tahun saya sudah tamat AMS.
Tamat AMS,saya memilih melanjutkan ke sekolah kedokteran di Jakarta. Tempat-nya di JalanSalemba yang kemudian berubah menjadi Universitas Indonesia. Saat itu sayamemang ingin menjadi dokter – sebuah keinginan yang bisa dibilang muluk untukukuran rakyat Indonesia saat itu. Anak-anak rakyat biasa saat itu paling tinggihanya sekolah SR. Saya bisa ke sekolah lanjutan, sebab ayah saya merupakanpetinggi, walaupun hanya petinggi desa.
Tetapi, darilima saudara saya, hanya saya yang paling menonjol di sekolah, sehingga bisamelanjutkan sampai ke sekolah kedokteran. Semasa sekolah kedokte-ran, sayabanyak kenal dengan para pemuda pejuang, termasuk Bung Karno. Saya sering ikutdiskusi-diskusi mereka. Dari sana saya juga dikenal para pemuda pejuang itu.Saya sendiri menjadi tertarik bergaul dengan mereka.
Sayamenyelesaikan sekolah dokter sesuai jadwal, yakni tujuh tahun. Tercapailahkeinginan saya menjadi dokter. Lantas saya mengambil brevet dengan spesialisasibedah perut. Saya selesaikan ini dalam tiga tahun, juga sesuai jadwal. Maka,pada tahun 1938 saya sudah mengantongi gelar dokter ahli bedah. Ketika itujumlah dokter umum masih sangat jarang, apalagi dokter spesialis. Kalau tidaksalah, dokter ahli bedah hanya ada lima orang. Tiga dari Jakarta, termasuksaya, dua dari Surabaya (Universitas Airlangga).
Sebelumlulus, tahun 1936 saya menikah dengan Hurustiati, seorang mahasiswi tapi bedafakultas dengan saya. Ketika saya sudah lulus, ia masih kuliah. Usia kami hanyaberbeda beberapa tahun. Saya sedikit lebih tua.
Begitululus, saya langsung ditarik pemeritah kolonial menjadi dokter di Semarang(sekarang RS Dr. Karjadi). Hanya beberapa bulan kemudian saya dipindahkan keJakarta (sekarang RS Dr. Cipto Mangunkusumo). Ahli bedah di sana saat itu hanyadua orang, termasuk saya. Untuk menyalurkan hobi berdiskusi saat mahasiswa,saya masuk PSI. Hanya dalam waktu beberapa bulan saja, pada 1940 saya sudahmenjadi wakil ketua PSI.
Akhirnyasaya mundur dari rumah sakit. Saya juga tidak praktek pribadi. Sepanjang hidupsaya juga tidak pernah praktek dokter pribadi. Karir saya di kedokteran selesaisampai di situ, sebab saya jenuh dengan pekerjaan yang menurut saya monoton.Saya lebih tertarik berorganisasi. Sampai akhirnya proklamasi kemerdekaandikumandangkan oleh Bung Karno.
Sekitartahun 1946 saya ditunjuk oleh Presiden Soekarno menjadi wakil pemerintahIndonesia di Inggris, berkedudukan di London. Penunjukan itu tiba-tiba saja.Tidak melalui proses, misalnya, menjadi pegawai negeri dulu. Mungkin karenasaat itu jumlah manusia tidak sebanyak sekarang. Dan, penunjukan PresidenSoekarno langsung saya terima. Istri saya juga setuju.
Inisebenarnya jabatan duta besar, tetapi kemerdekaan Indonesia belum diakui PBB.Sehingga saya tidak dipanggil duta besar, baik di Indonesia maupun di Inggris.Bung Karno hanya menyebut jabatan saya: Wakil Pemerintah Indonesia di Inggris.
Sebelumberangkat ke London, saya was-was. Tetapi setelah di Inggris, keberadaan sayaternyata diterima oleh Pemerintah Inggris. Memang tidak ada penyambutan saatsaya datang. Saya juga tidak membayangkan akan disambut. Lantas saya membukakantor di London. Inilah embrio Kedutaan Besar RI untuk Inggris. Dan, itulahawal saya meniti karir di pemerintahan. Jika banyak orang menempati jabatanDubes sebagai pos buangan, saya malah memulai karir dari pos itu.
Tahun 1950baru saya disebut Duta Besar RI untuk Inggris berkedudukan di London. Bagi sayasebenarnya tidak ada perubahan. Hanya sebutannya saja yang berubah. Namun,kemudian reaksi pemerintah Inggris terhadap keberadaan saya di sana secarabertahap berubah ke arah positif. Saya sering diundang ke acara-acara kerajaan,sebagaimana diperlakukan terhadap para duta besar dari negara-negara merdekalainnya.
Dariseringnya menghadiri undangan acara kerajaan itu saya sering berdekatan denganRatu Elizabeth. Saat itu tidak terbayangkan oleh saya bahwa berdekatan denganRatu Elizabeth kelak bisa menyelamatkan nyawa saya dari eksekusi hukuman matiyang tinggal menunggu hari (soal ini sudah diungkap di muka). Saya hanyamenjalankan tugas negara. Dan, dalam menjalankan tugas, antara lain, harusmenghadiri acara-acara seremonial tersebut.
Pada tahun1954 Presiden Soekarno menarik saya dari London, dan memindahkan saya keMoskow. Resminya jabatan baru saya adalah Duta Besar RI untuk Uni Soviet diMoskow. Dua tahun di sana, lantas saya diperintahkan pulang ke Jakarta. Tiba ditanah air saya ditunjuk oleh Presiden menjadi Sekretaris Jenderal DepartemenLuar negeri, menggantikan Roeslan Abdoelgani. Sedangkan Roeslan menjadi Menlumenggantikan Ali Sastroamidjojo. Yang unik adalah bahwa Ali turun jabatanmenjadi Dubes RI untuk AS di Washington.
Setahunkemudian saya dipanggil oleh Bung Karno. Setelah menghadap, Bung Karno berkatademikian: Bandrio, kamu saya tunjuk menjadi Perdana Menteri. Saya kaget. Itumerupakan suatu loncatan jabatan yang luar biasa – dari Sekjen Deplu menjadiPerdana Menteri. Menanggapi ini saya mengatakan, minta waktu berpikir.
Sesungguhnyasaya menolak tawaran itu. Saya merasa tidak enak dengan para senior saya.Memang, saya merasa Bung Karno menaruh simpati pada saya. Tolok ukurnya adalahbahwa Bung Karno sering menugaskan saya membuat naskah pidatonya. Bahkan, padasuatu hari Bung Karno berpidato di Markas PBB. Sebelum tampil Bung Karnomeminta saya membuatkan naskah pidato, padahal saya di Jakarta. Namun, tugasitu tetap saya laksanakan. Walaupun saya jarang bertatap muka dengan BungKarno, terasa sekali dia bersimpati pada saya. Tapi, saya merasa belum mampumenjadi Perdana Menteri. Apalagi saya belum lama pulang ke tanah air, sehinggasaya kurang memahami perkembangan situasi terakhir.
Menolaktawaran Bung Karno juga tidak enak. Lantas jalan keluarnya adalah bahwa sayabicara dengan Ketua PNI Suwito. Saya minta tolong Suwito menghadap Bung Karno,untuk menyampaikan keberatan saya. Sambil menyampaikan ini ia mengusulkan namaDjuanda. Ternyata Bung Karno setuju. Jadilah Djuanda Perdana Menteri. Untukmenjalankan tugasnya dia dibantu oleh presidium yang disebut Wakil PerdanaMenteri (Waperdam). Ada dua Waperdam, yakni Waperdam-I Idham Khalid danWaperdam-II Hardi. Selanjutnya saya menjadi Menlu menggantikan Roeslan.
SetelahDjuanda meninggal dunia, tiga menteri dipanggil oleh Bung Karno – saya sendiri,Menteri Pangan Leimena, dan Menteri Pemuda Chaerul Saleh. Tujuannya adalahuntuk mencari pengganti Djuanda dari tiga menteri ini. Proses pemilihannya uniksekali, sehingga tidak saya lupakan.
Bung Karnomemberi kami masing-masing tiga batang korek api. Semula kami bingung. BungKarno menyatakan bahwa ini pemilihan yang adil dan demokratis. Masing-masingdiberi sebatang korek utuh, setengah batang tanpa pentolan (karena sudahdipatahkan oleh Bung Karno), dan setengah batang dengan pentolan (juga sudahdipatahkan sebelumnya). Bung Karno meletakkan sebuah kantong di meja.
Cara permainannya,batang korek utuh merupakan simbol saya, setengah batang tanpa pentolan menjadisimbol Leimena, dan setengah batang dengan pentolan mewakili Chaerul. BungKarno minta, masing-masing memilih satu saja untuk dimasukkan ke dalam kantong.Saat memasukkan korek ke kantong, tangan harus menggenggam supaya tidakdiketahui yang lain. Pemilihan pun dimulai.
Sayamemasukkan setengah batang korek tanpa pentolan. Artinya, saya memilih Leimena.Lantas disusul Leimena dan Chaerul. Meskipun bentuknya sangat seder-hana,tetapi inilah pemilihan Perdana Menteri Indonesia. Suasana hening. Bung Karnomemandang masing-masing menteri yang memasukkan korek ke sebuah kantong. Sampaisemuanya menggunakan hak pilihnya.
Apa yangterjadi berikutnya? Bung Karno menumpahkan isi kantong itu secara blak-blakan.Yang tampak: sebatang korek utuh, setengah batang tanpa pentolan, dan setengahbatang dengan pentolan. Lengkap. Bung Karno geleng-geleng kepala. Hasil suaraseimbang untuk tiga kandidat. Pemilihan macet. Kami saling meman-dang satu samalain. Lantas kami saling terbuka. Saya pilih Leimena, sebaliknya Leimena pilihsaya, Chaerul pilih dirinya sendiri.
Leimenakemudian bicara. Sebaiknya Soebandrio menjadi Perdana Menteri. Alasannya,Indonesia butuh perhatian penuh di bidang luar negeri. Terutama menyangkutIrian Barat yang statusnya belum jelas. Untuk itu perlu diplomasiinternasional. Orang yang tepat adalah Soebandrio, ujarnya. Bung Karno ternyatasetuju dan memanggil ajudannya Brigjen Sabur untuk menuliskan keputusan dikertas kop kenegaraan.
Sebelumterlaksana, saya minta bicara. Saya katakan, tidak perlu merombak kabinet.Sebaiknya Bung Karno selain Presiden juga Perdana Menteri didampingi oleh paraWaperdam. Nah, Waperdamnya adalah kami bertiga. Bung Karno juga setuju. LaluLeimena main tunjuk, saya Waperdam-I, Leimena Waperdam-II, ChaerulWaperdam-III. Hebatnya, tanpa banyak bicara lagi semuanya sepakat.
Tidak lamakemudian saya dibebani satu tugas lagi sebagai Kepala BPI. Maka, saya merangkaptiga jabatan. Semakin jelas bahwa Presiden mempercayai saya. Walaupun cukupberat, namun saya laksanakan tugas-tugas yang diberikan. Saya masih sempatmelaksanakan ibadah haji.
Sebagaiimbalan, selain digaji, saya juga diberi rumah cukup di Jalan Imam Bonjol 16,Menteng, Jakarta Pusat. Untuk ukuran saat itu rumah tersebut sudah cukup mewah.Di rumah itu pula saya memiliki perpustakaan. Kelak perpustakaan saya inidihancurkan oleh penguasa Orde baru.
Tahun 1958anak saya yang pertama lahir, dan kami beri nama Budojo. Ternyata hanya ituanak saya, sebab dia tidak punya adik lagi.
Saat sayamenjadi pejabat tinggi negara, ada yang unik. Saya menjadi tukang khitanbeberapa anak pejabat. Ceritanya, para pejabat itu tahu bahwa saya adalahdokter ahli bedah. Saat itu sudah banyak dokter ahli bedah. Tapi, entah mengapamereka minta tolong saya untuk mengkhitankan anak mereka. Ada beberapa anakpejabat yang sudah saya khitan. Saya hanya menolong mereka dengan ikhlas.
Sejakmengundurkan diri dari RS, saya tidak pernah praktek dokter pribadi. Beberapateman menyayangkan bahwa saya tidak buka praktek. Sebab, saat itu jumlah doktermasih sedikit. Tetapi, karena sudah menjadi niat saya untuk terjun ke dalamkancah politik, saya tinggalkan bidang pekerjaan yang sebenarnya sesuai denganbidang pendidikan saya itu. Ya, saya harus memilih, dan saya sudah menentukan.Jadinya, saya hanya menjadi tukang khitan anak pejabat.
Sepanjangsaya menjadi pejabat tinggi negara, memang ada beberapa tokoh PKI yang akrabdengan saya. Sebagai pejabat tentu saya akrab dengan pimpinan PKI, DN Aidit.Juga dengan beberapa tokoh PKI lainnya. Tetapi, saya tidak masuk ke dalamkeanggotaan partai itu. Saya juga tidak aktif di PSI, sejak menjadi pejabatnegara. PKI saat itu adalah partai besar. Mereka tentu memiliki ambisi politiktertentu, sehingga mereka tidak hanya mendekati saya, tetapi juga pejabattinggi negara lainnya, termasuk Bung Karno. Bahkan, beberapa tokoh PKI masuk kedalam jajaran kabinet. Banyak juga di ABRI. Sebab, PKI saat itu memang partai besardan legal. Jadi, wajar kalau tokohnya duduk di kabinet dan ABRI.
Sebagaigambaran, salah satu partai besar saat ini (tidak perlu saya menyebut namanya)menempatkan tokohnya di jajaran kabinet. Bahkan, ada yang masuk ke jajaranABRI. Bukankah itu hal yang wajar? Dan, kalau para pimpinan partai itumendekati pimpinan puncak, presiden dan orang-orang terdekatnya, juga wajar.Kondisinya berubah menjadi tidak wajar setelah partai tersebut dinyatakansebagai partai terlarang. Itulah PKI.
Saat G30Smeletus - seperti sudah saya sebutkan di muka - saya sedang bertugas di Medan.Kami keliling daerah untuk memantapkan program-program pemerintah. Begitu sayadiberitahu oleh Presiden Soekarno, saya langsung pulang, dan tiba di istanaBogor bergabung dengan Presiden Soekarno pada 3 Oktober 1965. Setelah itukondisi negara tidak menentu. Presiden Soekarno sudah menjadi tawanan Soehartodi Istana Bogor sejak 2 Oktober 1965.
Sejak itupula kelompok Bayangan Soeharto menyebarkan propaganda bahwa G30S didalangioleh PKI. Ketua PKI, DN Aidit, ditembak mati di Jawa Tengah. Namun munculpengakuan tertulis Aidit – yang sangat mungkin merupakan rekayasa – bahwa iayang mendalangi G30S. beberapa tokoh PKI lainnya juga ditembak mati, tanpaproses pengadilan. Semua ini adalah cara untuk membungkam PKI, agar tidakbicara. Memang, pada 1 Oktober 1965 Aidit berada di Halim, pusat pasukan G30Sberkumpul. Namun, saya dengar istri Aidit mengatakan bahwa pada tanggal 30September 1965, malam hari, Aidit diculik dan dibawa ke Halim. Aidit terbang keYogyakarta, beberapa saat setelah Bung Karno meninggalkan Halim.
Saya sangatyakin bahwa dalang G30S bukan Aidit. Saya ingat saat saya dan Aidit sama-samamenjenguk Bung Karno yang sedang sakit. Setelah saya periksa, Bung Karnoternyata hanya masuk angin. Tetapi, disebarkan isu bahwa Bung Karno sedangsakit berat, paling tidak bisa lumpuh. Isu tersebut merupakan propaganda yangditujukan untuk konsumsi publik di luar PKI. Sebab, PKI pasti mengetahui,karena Aidit bersama saya menjenguk Bung Karno. Propaganda itu bertujuan untukmemberi alasan keterlibatan PKI dalam G30S. Propaganda itu akan membangun opinipublik bahwa PKI bergerak merebut kekuasaan sebelum didahului oleh pihak lain,mengingat sakit kerasnya Bung Karno.
Yangmengetahui rahasia ini hanya Bung Karno, Aidit, dokter RRC yang didatangkanoleh Aidit dari Kebayoran-Baru, Jakarta, Dokter Leimena, dan saya sendiri.Tanpa berniat membela Aidit, saya yakin bahwa bukan Aidit yang mendalangi PKI,sebab saya tahu persis. Kalau Aidit mendukung pembunuhan anggota DewanJenderal, memang ya. Dalam suatu kesempatan, saya dengar Aidit mendukunggerakan membunuh anggota Dewan Jenderal yang dikabarkan akan melakukan kudetaterhadap Presiden. Sebab, kalau sampai Presiden terguling oleh kelompok militer,maka nasib PKI selanjutnya bakal sulit. Tetapi, Aidit hanya sekadar mendukungdalam bentuk ucapan saja.
Tetapiakhirnya propaganda Soeharto melalui media massa sukses. Kesan bahwa PKImendalangi G30S melekat di benak publik. Malah diperkaya dengan ceritapembantaian para jenderal di Lubang Buaya oleh kelompok Gerwani yangmenari-nari sambil menyiksa para jenderal. Dikabarkan bahwa mata para jenderaldicungkil, kemaluannya dipotong, tubuhnya disayat-sayat. Penyiksaan keji inidiberi nama Upacara Harum Bunga – suatu nama yang sangat kontras dengankekejiannya. Sungguh suatu cerita yang mengerikan.
Cerita inidiperkuat dengan pengakuan seorang wanita bernama Jamilah dan kawan-kawan yangmengaku sebagai orang Gerwani. Saya tidak tahu, siapa Jamilah itu. Tetapicerita ini dipublikasikan oleh pers yang sudah dikuasai Soeharto. Dalam sekejapkemarahan rakyat terhadap PKI tersulut.
Padahal,cerita yang disebarkan Soeharto itu semua bohong. Terbukti, setelah Soehartotumbang, para dokter yang membedah mayat para jenderal dulu bicara di televisi:mayat para jenderal itu utuh, Sama sekali tidak ada tanda-tanda penyiksaan.Memang kulit mayat terkelupas, tetapi berdasarkan penelitian, itu karena mayattersebut terendam di dalam air (sumur) selama beberapa hari.
Saya bukanPKI. Memang, saya pernah menyerukan penghentian pembantaian terhadap pimpinandan anggota PKI oleh AD pada pertengahan Oktober 1965. Itu saat-saat awal PKIdibantai. Seruan saya ini atas perintah Presiden Soekarno yang tidakmenghendaki pertumpahan darah. Bung Karno saat itu masih memegang kendali.Beberapa jam setelah G30S meletus, ia memerintahkan agar semua pasukan bersiapdi tempatnya. Jangan ada yang bergerak di luar perintah Presiden. Sebab, padadasarnya Bung Karno tidak menghendaki pertumpahan darah. Namun perintahPresiden tidak digubris. Seruan saya juga tidak dihiraukan. Pambantaian PKIterus berlangsung.
Malah, sejakitu saya dicap sebagai pro-PKI. Apalagi saya pernah ditugaskan di Moskow. Sayajuga pernah ditugaskan berkunjung (sebagai Menlu) ke Beijing, RRC dan diberitawaran bantuan senjata gratis oleh pimpinan RRC. Sedangkan Moskow dan Beijingadalah poros utama komunis. Dari rangkaian tugas-tugas kenegaraan saya itulantas saya dicap pro-PKI. Saya sebagai pejabat tinggi negara saat itu tidakdapat berbuat banyak menanggapi cap tersebut. Sebab, bukankah semua itu karenasaya menjalankan tugas negara?
Saya merasacap PKI menjadi mengerikan bagi saya, setelah PKI dibantai habis-habisan. PadaSidang Kabinet 11 Maret 1966 di Istana Negara saya menjadi incaran pembunuhantentara, meskipun saat itu saya masih pejabat tinggi negara. Ketika IstanaNegara dikepung oleh pasukan Kostrad pimpinan Kemal Idris dibantu oleh pasukanRPKAD (kelak berubah menjadi Kopassus) pimpinan Sarwo Edhie, jelas sayadiincar. Dari laporan intelijen, saya diberitahu bahwa Kemal Idris bersamapasukannya akan membunuh saya. Itu juga atas persetujuan Soeharto. Tetapiakhirnya saya lolos.
Beberapahari setelah itu baru 15 menteri ditangkap, termasuk saya. Jika sebelumnya cappro-PKI terhadap diri saya tidak terbuka, sejak saya ditangkap cap itu semakinmenyebar secara luas. Malah, Soeharto menambahi julukan baru bagi saya: Durno.Sebagai orang Jawa, tentu saya sangat sakit hati diberi julukan itu. Sebab,Durno adalah tokoh culas dalam pewayangan. Durno suka mengadu-domba. Soaljulukan ini saya tidak tahu bagaimana asal-usulnya. Yang tahu tentu hanyaSoeharto. Tetapi, ini memang bagian dari penghancuran diri saya sebagaipengikut setia Bung Karno. Dan, julukan Durno bagi saya baru muncul setelahsaya ditahan, setelah Bung karno mendekati ajal politiknya.
Di dalampenjara, saya sama sekali tidak disiksa secara fisik. Kalau disiksa mental,sudah jelas. Interogasi tak habis-habisnya hanya untuk tujuan menjatuhkan mental.Sebagai mantan pejabat tinggi negara, saat itu mental saya sudah jatuh. Daripemegang kekuasaan negara berubah menjadi orang tahanan. Mungkin saya mengalamidepresi. Istri saya tentu mengalami hal yang sama. Anak saya satu-satunya masihkecil.
Saya diadilidi Mahmilti tidak lama kemudian. Tetapi, anehnya dakwaan buat saya bukansebagai PKI atau terlibat G30S. Sama sekali tidak menyinggung dua hal pokokitu. Padahal, saya sudah dicap pro-PKI. Saya sudah dijuluki Durno.
Saya diadilikarena ucapan saya bisa menimbulkan kekacauan saat saya berkata: Kalau adateror, tentu bakal muncul kontra-teror. Beberapa setelah G30S meletus, parapemuda yang dimanfaatkan AD mendesak agar Bung Karno diadili. Mereka didukungoleh AD untuk melakukan demonstrasi dan melancarkan teror bagi Bung Karno sertapara pendukungnya. Suatu saat saya mengatakan, jika ada teror (dari parapemuda) maka bakal muncul kontra-teror (entah dari mana).
Nah, ucapansaya ini dinilai bisa memancing kekacauan. Saya dituduh melakukan subversi.Sidang berlangsung singkat, lantas saya dijatuhi hukuman mati. Benar-benarpengadilan sandiwara. Mereka gagal membunuh saya secara terang-terangan diSidang Kabinet 11 Maret 1966, toh mereka bisa membunuh saya secara’konstitusional’ di pengadilan sandiwara ini. Naik banding dan kasasi sayatempuh sekadar semacam reflek menghindari kematian. Namun upaya hukum itupercuma. Sebab, pengadilannya saja sudah sandiwara.
Dan,pengadilan sandiwara di banyak kasus seputar G30S dan PKI di awal kepemimpinanSoeharto, kemudian berdampak sangat buruk bagi Indonesia. Sejak itu sampaisekarang, pengadilan sandiwara merupakan hal lumrah. Pengadilan sandiwara kasusseputar G30S merupakan semacam yurisprudensi (rujukan) bagi serentetan amatpanjang pengadilan sandiwara berikutnya. Moral aparat hukum rusak berat.Pengadilan berbagai kasus di-subversi-kan berikutnya: Tanjung Priok, Lampung,demonstrasi mahasiswa yang kritis terhadap pemerintah Orde Baru, diadili denganpengadilan sandiwara merujuk G30S. Bahkan juga kasus-kasus korupsi. Salahmenjadi benar, benar menjadi salah.
Ini samasekali bukan pelampiasan dendam saya terhadap Soeharto. Tak kurang Presiden KHAbdurrahman Wahid (tidak ada hubungannya dengan saya) sampai melontarkanpernyataan bahwa seluruh hakim Jakarta akan diganti dengan hakim impor.
Di dalampenjara, awalnya saya mengalami depresi. Kesalahan saya satu-satunya adalahmenjadi pengikut setia Bung Karno. Namun kemudian saya tidak menyesal menjadipengikut setia Bung Karno, sebab itu sudah menjadi tekad saya. Dan, inimerupakan risiko bagi semua orang yang berkecimpung di bidang politik.
Saya masuksel isolasi, terpisah dengan napi lain. Meskipun saya tidak disiksa fisik,namun direkayasa sedemikian rupa sehingga batin saya benar-benar tersiksa.Kondisi penjara yang sangat buruk, suatu saat membuat perut saya terluka danmengalami infeksi. Saya tahu, itu obatnya sederhana saja. Tetapi, pemerintahtidak menyediakan. Luka saya dibiarkan membusuk digerogoti bakteri. Ketika lukasaya sudah benar-benar parah (berulat), baru diberi obat. Rupanya pemberianobat yang terlambat itu memang disengaja. Akibatnya, luka memang sembuh. Namunsampai kini sering kambuh, rasa nyeri luar biasa.
Di dalam,saya dilarang menulis, membaca berita, dijenguk keluarga atau teman (barubeberapa tahun kemudian dibolehkan). Satu-satunya bacaan saya adalah ayat suciAl-Qur’an. Tetapi, bacaan ini seperti mengembalikan saya pada suasana masakanak-kanak yang agamis. Saya malah mendapatkan ketenangan jiwa yang tidak sayarasakan ketika saya menjadi pejabat tinggi negara.
Akhirnyasaya lolos dari hukuman mati karena kawat dari dua petinggi negara adidaya, ASdan Inggris. Hukuman saya diubah menjadi seumur hidup. Tetapi saya tetapditempatkan di sel isolasi mulai dari Salemba (Rutan Salemba), LP Cimahi,sampai LP Cipinang.
Pada tahun1978 anak saya Budojo meninggal dunia karena serangan jantung. Ibunyabenar-benar mengalami depresi berat. Sejak saya dihukum, hanya Budojo yangmembuat ibunya tabah menghadapi cobaan. Saya bisa membayangkan, betapa isterisaya hidup nelangsa. Dari seorang istri pejabat tinggi negara, menda-dakberubah menjadi ’istri Durno’, disusul anak satu-satunya pun meninggal dunia.Maka, beberapa bulan kemudian istri saya menyusul Budojo, berpulang kerahmatullah. Tinggallah saya sendiri. Tetap kesepian di penjara. Tidak ada lagiyang menjenguk.
Tetapi,diam-diam ada seorang wanita yang bersimpati pada saya. Dia adalah mantanisteri Kolonel Bambang Supeno. Bambang adalah perwira tinggi AD yang ikutmendukung G30S atas instruksi Soeharto. Namun, seperti nasib perwira pelakuG30S lainnya, Bambang dihukum dan akhirnya meninggal dunia. Istrinya, SriKoesdijantinah, janda dengan dua anak, lantas bersimpati pada saya. Kamiakhirnya menikah di LP Cipinang pada tahun 1990. Saya sangat kagum pada Sriyang rela menikah dengan narapidana. Sangat jarang ada wanita setulus dia.
Kini hidupsaya tidak sendiri lagi. Meskipun saya tetap meringkuk di sel khusus, tetapisetiap pekan ada lagi orang yang menjenguk, setelah bertahun-tahun kosong. Srimuncul di saat semangat hidup saya nyaris padam. Setiap pekan dia membawa-kansaya nasi rawon kesukaan saya. Juga dua orang anak Sri sangat perhatian. kepadasaya. Sebagai sesama korban Soeharto, kami menjadi bersatu. Saya lantas menjadisadar bahwa bukan hanya saya korban kekejaman Soeharto. Ada banyak korban lainyang jauh lebih sengsara dibanding saya. Sri benar-benar membuat hidup sayabersinar kembali.
Pada tanggal16 Agustus 1995 saya dibebaskan. Saya pulang bersama Sri dan anak-anak. Kamimenempati rumah besar di Jalan Imam Bonjol 16 yang dulu saya tinggalkan. Sayaseperti bangun tidur di pagi hari. Saya seperti baru saja bermimpi, 30 tahundalam kegelapan di penjara. Saya seperti menemukan hari baru yang cerah. Sayabersujud syukur alhamdulillah, masih diberi kesempatan menghirup udara bebas.
Setahunmenempati rumah itu, kami merasa kewalahan. Biaya perawatannya sangat mahal.Sebagai seorang dosen di sebuah perguruan tinggi swasta, honor Sri tidakseberapa. Apalagi saya, penganggur tanpa penghasilan. Tiga jabatan sangatpenting saya di zaman Presiden Soekarno tidak dihargai sama sekali. Saya tidakdiberi uang pensiun. Akhirnya kami menjual rumah besar itu. Sebagai gantinya,kami membeli rumah lebih kecil di Jakarta Selatan.
Setelah Soehartotumbang, banyak orang datang kepada saya, menganjurkan saya membuat memoar.Saya sesungguhnya tidak tertarik. Selain tidak memiliki persiapan yang matang,juga tidak ada gunanya bagi saya mengungkap masa lalu. Biarlah itu berlalu. Tohsaya sudah menjalani hukuman 30 tahun. Toh saya sudah menerima hinaan disebutDurno, PKI, dan sebagainya. Saya sudah ikhlas menerimanya. Saya sudah legowo.Usia saya sudah senja. Tinggal meningkatkan amal soleh dan ibadah, sebagaibekal menghadap Sang Khalik, suatu saat nanti. Apalagi Soeharto akhirnyatumbang juga. Kalau saya mengungkap masa lalu, saya bisa larut dalam emosi.Maka, anjuran itu tidak saya turuti.
Namun,teman-teman sezaman, baik dari dalam maupun luar negeri terus menghu-bungisaya, baik melalui telepon maupun bertemu langsung. Mereka mengatakan, sejarahG30S sudah dibengkokkan. Kata mereka, saya harus mengatakan yang sebenarnyauntuk meluruskan sejarah. Ini bukan untuk anda, tapi penting bagi generasi mudaagar tidak tertipu oleh sejarah yang dimanipulir, kata salah seorang darimereka.
Diinformasikanbahwa salah satu pelaku sejarah G30S yang amat penting, Kolonel Abdul Latiefjuga membuat buku berisi pledoinya dulu. Tetapi ada dugaan bahwa Latief tidakmengungkap total misteri G30S. Sebab, Mingguan terbitan Hongkong, Far EasternEconomic Review edisi 2 Agustus 1990 memberitakan bahwa memoar Latief yanglengkap disimpan di sebuah bank di luar Indonesia dengan pesan, bolehdipublikasikan jika Latief dibunuh. Itu berarti G30S masih misteri.
Saya sempatbimbang. Keinginan saya mengubur masa lalu seperti digoyang begitu kuat.Apalagi banyak penulis kenamaan datang kepada saya, siap menuliskan memoarsaya. Dalam kebimbangan itu saya ingat pada seorang wartawan muda yang palingsering mewawancarai saya, Djono W. Oesman. Dia saya hubungi dan saya mintamenuliskan cerita saya, sebab saya percaya padanya. Dia pun setuju. Dialahpenyunting tulisan ini. Hanya saya dan dia yang menyusun potongan-potonganperistiwa yang saya alami dan saya ingat.
Sayamenyadari bahwa mungkin banyak kekurangan di dalam tulisan ini. Maklum, G30Sadalah masalah internal AD, dan saya bukan dari AD. Tetapi saya adalah pelakusejarah G30S yang mengalami semua kejadian sebelum, saat meletus, sampai dampakperistiwa itu.
Mungkin,inilah sumbangan saya, bagian dari amal ibadah untuk bekal kehidupan saya diakhirat kelak. Semoga ada manfaatnya. Aamiin yaa Robbal Alam
— bersama Baul Muhammad Nasrullah dan Timur Saja.
Agar lebihjelas, saya paparkan sekilas biografi saya. Saya lahir di Kepanjen (selatanMalang), Jatim, 15 September 1914. Ayah saya, Kusadi, adalah Wedono Kepanjen.Ibu saya, Sapirah, adalah ibu rumah tangga biasa. Saya adalah anak kedua darienam bersaudara.
Sayadibesarkan dalam keluarga Islam yang taat. Untuk ukuran posisi ayah di desakecil Kepanjen saat itu, keluarga kami cukup terhormat. Masa kanak-kanak sayahabiskan di Kepanjen. Saya sekolah di SR (Sekolah Rakyat setingkat SD) di sana.
Lulus SR,saya masuk MULO (setingkat SMP) di Malang. Sebab, saat itu di Kepanjen belumada sekolah MULO. Lulus MULO saya lanjutkan ke AMS tahun 1928. Saya masuksekolah terlalu dini, sehingga pada usia 14 tahun saya sudah tamat AMS.
Tamat AMS,saya memilih melanjutkan ke sekolah kedokteran di Jakarta. Tempat-nya di JalanSalemba yang kemudian berubah menjadi Universitas Indonesia. Saat itu sayamemang ingin menjadi dokter – sebuah keinginan yang bisa dibilang muluk untukukuran rakyat Indonesia saat itu. Anak-anak rakyat biasa saat itu paling tinggihanya sekolah SR. Saya bisa ke sekolah lanjutan, sebab ayah saya merupakanpetinggi, walaupun hanya petinggi desa.
Tetapi, darilima saudara saya, hanya saya yang paling menonjol di sekolah, sehingga bisamelanjutkan sampai ke sekolah kedokteran. Semasa sekolah kedokte-ran, sayabanyak kenal dengan para pemuda pejuang, termasuk Bung Karno. Saya sering ikutdiskusi-diskusi mereka. Dari sana saya juga dikenal para pemuda pejuang itu.Saya sendiri menjadi tertarik bergaul dengan mereka.
Sayamenyelesaikan sekolah dokter sesuai jadwal, yakni tujuh tahun. Tercapailahkeinginan saya menjadi dokter. Lantas saya mengambil brevet dengan spesialisasibedah perut. Saya selesaikan ini dalam tiga tahun, juga sesuai jadwal. Maka,pada tahun 1938 saya sudah mengantongi gelar dokter ahli bedah. Ketika itujumlah dokter umum masih sangat jarang, apalagi dokter spesialis. Kalau tidaksalah, dokter ahli bedah hanya ada lima orang. Tiga dari Jakarta, termasuksaya, dua dari Surabaya (Universitas Airlangga).
Sebelumlulus, tahun 1936 saya menikah dengan Hurustiati, seorang mahasiswi tapi bedafakultas dengan saya. Ketika saya sudah lulus, ia masih kuliah. Usia kami hanyaberbeda beberapa tahun. Saya sedikit lebih tua.
Begitululus, saya langsung ditarik pemeritah kolonial menjadi dokter di Semarang(sekarang RS Dr. Karjadi). Hanya beberapa bulan kemudian saya dipindahkan keJakarta (sekarang RS Dr. Cipto Mangunkusumo). Ahli bedah di sana saat itu hanyadua orang, termasuk saya. Untuk menyalurkan hobi berdiskusi saat mahasiswa,saya masuk PSI. Hanya dalam waktu beberapa bulan saja, pada 1940 saya sudahmenjadi wakil ketua PSI.
Akhirnyasaya mundur dari rumah sakit. Saya juga tidak praktek pribadi. Sepanjang hidupsaya juga tidak pernah praktek dokter pribadi. Karir saya di kedokteran selesaisampai di situ, sebab saya jenuh dengan pekerjaan yang menurut saya monoton.Saya lebih tertarik berorganisasi. Sampai akhirnya proklamasi kemerdekaandikumandangkan oleh Bung Karno.
Sekitartahun 1946 saya ditunjuk oleh Presiden Soekarno menjadi wakil pemerintahIndonesia di Inggris, berkedudukan di London. Penunjukan itu tiba-tiba saja.Tidak melalui proses, misalnya, menjadi pegawai negeri dulu. Mungkin karenasaat itu jumlah manusia tidak sebanyak sekarang. Dan, penunjukan PresidenSoekarno langsung saya terima. Istri saya juga setuju.
Inisebenarnya jabatan duta besar, tetapi kemerdekaan Indonesia belum diakui PBB.Sehingga saya tidak dipanggil duta besar, baik di Indonesia maupun di Inggris.Bung Karno hanya menyebut jabatan saya: Wakil Pemerintah Indonesia di Inggris.
Sebelumberangkat ke London, saya was-was. Tetapi setelah di Inggris, keberadaan sayaternyata diterima oleh Pemerintah Inggris. Memang tidak ada penyambutan saatsaya datang. Saya juga tidak membayangkan akan disambut. Lantas saya membukakantor di London. Inilah embrio Kedutaan Besar RI untuk Inggris. Dan, itulahawal saya meniti karir di pemerintahan. Jika banyak orang menempati jabatanDubes sebagai pos buangan, saya malah memulai karir dari pos itu.
Tahun 1950baru saya disebut Duta Besar RI untuk Inggris berkedudukan di London. Bagi sayasebenarnya tidak ada perubahan. Hanya sebutannya saja yang berubah. Namun,kemudian reaksi pemerintah Inggris terhadap keberadaan saya di sana secarabertahap berubah ke arah positif. Saya sering diundang ke acara-acara kerajaan,sebagaimana diperlakukan terhadap para duta besar dari negara-negara merdekalainnya.
Dariseringnya menghadiri undangan acara kerajaan itu saya sering berdekatan denganRatu Elizabeth. Saat itu tidak terbayangkan oleh saya bahwa berdekatan denganRatu Elizabeth kelak bisa menyelamatkan nyawa saya dari eksekusi hukuman matiyang tinggal menunggu hari (soal ini sudah diungkap di muka). Saya hanyamenjalankan tugas negara. Dan, dalam menjalankan tugas, antara lain, harusmenghadiri acara-acara seremonial tersebut.
Pada tahun1954 Presiden Soekarno menarik saya dari London, dan memindahkan saya keMoskow. Resminya jabatan baru saya adalah Duta Besar RI untuk Uni Soviet diMoskow. Dua tahun di sana, lantas saya diperintahkan pulang ke Jakarta. Tiba ditanah air saya ditunjuk oleh Presiden menjadi Sekretaris Jenderal DepartemenLuar negeri, menggantikan Roeslan Abdoelgani. Sedangkan Roeslan menjadi Menlumenggantikan Ali Sastroamidjojo. Yang unik adalah bahwa Ali turun jabatanmenjadi Dubes RI untuk AS di Washington.
Setahunkemudian saya dipanggil oleh Bung Karno. Setelah menghadap, Bung Karno berkatademikian: Bandrio, kamu saya tunjuk menjadi Perdana Menteri. Saya kaget. Itumerupakan suatu loncatan jabatan yang luar biasa – dari Sekjen Deplu menjadiPerdana Menteri. Menanggapi ini saya mengatakan, minta waktu berpikir.
Sesungguhnyasaya menolak tawaran itu. Saya merasa tidak enak dengan para senior saya.Memang, saya merasa Bung Karno menaruh simpati pada saya. Tolok ukurnya adalahbahwa Bung Karno sering menugaskan saya membuat naskah pidatonya. Bahkan, padasuatu hari Bung Karno berpidato di Markas PBB. Sebelum tampil Bung Karnomeminta saya membuatkan naskah pidato, padahal saya di Jakarta. Namun, tugasitu tetap saya laksanakan. Walaupun saya jarang bertatap muka dengan BungKarno, terasa sekali dia bersimpati pada saya. Tapi, saya merasa belum mampumenjadi Perdana Menteri. Apalagi saya belum lama pulang ke tanah air, sehinggasaya kurang memahami perkembangan situasi terakhir.
Menolaktawaran Bung Karno juga tidak enak. Lantas jalan keluarnya adalah bahwa sayabicara dengan Ketua PNI Suwito. Saya minta tolong Suwito menghadap Bung Karno,untuk menyampaikan keberatan saya. Sambil menyampaikan ini ia mengusulkan namaDjuanda. Ternyata Bung Karno setuju. Jadilah Djuanda Perdana Menteri. Untukmenjalankan tugasnya dia dibantu oleh presidium yang disebut Wakil PerdanaMenteri (Waperdam). Ada dua Waperdam, yakni Waperdam-I Idham Khalid danWaperdam-II Hardi. Selanjutnya saya menjadi Menlu menggantikan Roeslan.
SetelahDjuanda meninggal dunia, tiga menteri dipanggil oleh Bung Karno – saya sendiri,Menteri Pangan Leimena, dan Menteri Pemuda Chaerul Saleh. Tujuannya adalahuntuk mencari pengganti Djuanda dari tiga menteri ini. Proses pemilihannya uniksekali, sehingga tidak saya lupakan.
Bung Karnomemberi kami masing-masing tiga batang korek api. Semula kami bingung. BungKarno menyatakan bahwa ini pemilihan yang adil dan demokratis. Masing-masingdiberi sebatang korek utuh, setengah batang tanpa pentolan (karena sudahdipatahkan oleh Bung Karno), dan setengah batang dengan pentolan (juga sudahdipatahkan sebelumnya). Bung Karno meletakkan sebuah kantong di meja.
Cara permainannya,batang korek utuh merupakan simbol saya, setengah batang tanpa pentolan menjadisimbol Leimena, dan setengah batang dengan pentolan mewakili Chaerul. BungKarno minta, masing-masing memilih satu saja untuk dimasukkan ke dalam kantong.Saat memasukkan korek ke kantong, tangan harus menggenggam supaya tidakdiketahui yang lain. Pemilihan pun dimulai.
Sayamemasukkan setengah batang korek tanpa pentolan. Artinya, saya memilih Leimena.Lantas disusul Leimena dan Chaerul. Meskipun bentuknya sangat seder-hana,tetapi inilah pemilihan Perdana Menteri Indonesia. Suasana hening. Bung Karnomemandang masing-masing menteri yang memasukkan korek ke sebuah kantong. Sampaisemuanya menggunakan hak pilihnya.
Apa yangterjadi berikutnya? Bung Karno menumpahkan isi kantong itu secara blak-blakan.Yang tampak: sebatang korek utuh, setengah batang tanpa pentolan, dan setengahbatang dengan pentolan. Lengkap. Bung Karno geleng-geleng kepala. Hasil suaraseimbang untuk tiga kandidat. Pemilihan macet. Kami saling meman-dang satu samalain. Lantas kami saling terbuka. Saya pilih Leimena, sebaliknya Leimena pilihsaya, Chaerul pilih dirinya sendiri.
Leimenakemudian bicara. Sebaiknya Soebandrio menjadi Perdana Menteri. Alasannya,Indonesia butuh perhatian penuh di bidang luar negeri. Terutama menyangkutIrian Barat yang statusnya belum jelas. Untuk itu perlu diplomasiinternasional. Orang yang tepat adalah Soebandrio, ujarnya. Bung Karno ternyatasetuju dan memanggil ajudannya Brigjen Sabur untuk menuliskan keputusan dikertas kop kenegaraan.
Sebelumterlaksana, saya minta bicara. Saya katakan, tidak perlu merombak kabinet.Sebaiknya Bung Karno selain Presiden juga Perdana Menteri didampingi oleh paraWaperdam. Nah, Waperdamnya adalah kami bertiga. Bung Karno juga setuju. LaluLeimena main tunjuk, saya Waperdam-I, Leimena Waperdam-II, ChaerulWaperdam-III. Hebatnya, tanpa banyak bicara lagi semuanya sepakat.
Tidak lamakemudian saya dibebani satu tugas lagi sebagai Kepala BPI. Maka, saya merangkaptiga jabatan. Semakin jelas bahwa Presiden mempercayai saya. Walaupun cukupberat, namun saya laksanakan tugas-tugas yang diberikan. Saya masih sempatmelaksanakan ibadah haji.
Sebagaiimbalan, selain digaji, saya juga diberi rumah cukup di Jalan Imam Bonjol 16,Menteng, Jakarta Pusat. Untuk ukuran saat itu rumah tersebut sudah cukup mewah.Di rumah itu pula saya memiliki perpustakaan. Kelak perpustakaan saya inidihancurkan oleh penguasa Orde baru.
Tahun 1958anak saya yang pertama lahir, dan kami beri nama Budojo. Ternyata hanya ituanak saya, sebab dia tidak punya adik lagi.
Saat sayamenjadi pejabat tinggi negara, ada yang unik. Saya menjadi tukang khitanbeberapa anak pejabat. Ceritanya, para pejabat itu tahu bahwa saya adalahdokter ahli bedah. Saat itu sudah banyak dokter ahli bedah. Tapi, entah mengapamereka minta tolong saya untuk mengkhitankan anak mereka. Ada beberapa anakpejabat yang sudah saya khitan. Saya hanya menolong mereka dengan ikhlas.
Sejakmengundurkan diri dari RS, saya tidak pernah praktek dokter pribadi. Beberapateman menyayangkan bahwa saya tidak buka praktek. Sebab, saat itu jumlah doktermasih sedikit. Tetapi, karena sudah menjadi niat saya untuk terjun ke dalamkancah politik, saya tinggalkan bidang pekerjaan yang sebenarnya sesuai denganbidang pendidikan saya itu. Ya, saya harus memilih, dan saya sudah menentukan.Jadinya, saya hanya menjadi tukang khitan anak pejabat.
Sepanjangsaya menjadi pejabat tinggi negara, memang ada beberapa tokoh PKI yang akrabdengan saya. Sebagai pejabat tentu saya akrab dengan pimpinan PKI, DN Aidit.Juga dengan beberapa tokoh PKI lainnya. Tetapi, saya tidak masuk ke dalamkeanggotaan partai itu. Saya juga tidak aktif di PSI, sejak menjadi pejabatnegara. PKI saat itu adalah partai besar. Mereka tentu memiliki ambisi politiktertentu, sehingga mereka tidak hanya mendekati saya, tetapi juga pejabattinggi negara lainnya, termasuk Bung Karno. Bahkan, beberapa tokoh PKI masuk kedalam jajaran kabinet. Banyak juga di ABRI. Sebab, PKI saat itu memang partai besardan legal. Jadi, wajar kalau tokohnya duduk di kabinet dan ABRI.
Sebagaigambaran, salah satu partai besar saat ini (tidak perlu saya menyebut namanya)menempatkan tokohnya di jajaran kabinet. Bahkan, ada yang masuk ke jajaranABRI. Bukankah itu hal yang wajar? Dan, kalau para pimpinan partai itumendekati pimpinan puncak, presiden dan orang-orang terdekatnya, juga wajar.Kondisinya berubah menjadi tidak wajar setelah partai tersebut dinyatakansebagai partai terlarang. Itulah PKI.
Saat G30Smeletus - seperti sudah saya sebutkan di muka - saya sedang bertugas di Medan.Kami keliling daerah untuk memantapkan program-program pemerintah. Begitu sayadiberitahu oleh Presiden Soekarno, saya langsung pulang, dan tiba di istanaBogor bergabung dengan Presiden Soekarno pada 3 Oktober 1965. Setelah itukondisi negara tidak menentu. Presiden Soekarno sudah menjadi tawanan Soehartodi Istana Bogor sejak 2 Oktober 1965.
Sejak itupula kelompok Bayangan Soeharto menyebarkan propaganda bahwa G30S didalangioleh PKI. Ketua PKI, DN Aidit, ditembak mati di Jawa Tengah. Namun munculpengakuan tertulis Aidit – yang sangat mungkin merupakan rekayasa – bahwa iayang mendalangi G30S. beberapa tokoh PKI lainnya juga ditembak mati, tanpaproses pengadilan. Semua ini adalah cara untuk membungkam PKI, agar tidakbicara. Memang, pada 1 Oktober 1965 Aidit berada di Halim, pusat pasukan G30Sberkumpul. Namun, saya dengar istri Aidit mengatakan bahwa pada tanggal 30September 1965, malam hari, Aidit diculik dan dibawa ke Halim. Aidit terbang keYogyakarta, beberapa saat setelah Bung Karno meninggalkan Halim.
Saya sangatyakin bahwa dalang G30S bukan Aidit. Saya ingat saat saya dan Aidit sama-samamenjenguk Bung Karno yang sedang sakit. Setelah saya periksa, Bung Karnoternyata hanya masuk angin. Tetapi, disebarkan isu bahwa Bung Karno sedangsakit berat, paling tidak bisa lumpuh. Isu tersebut merupakan propaganda yangditujukan untuk konsumsi publik di luar PKI. Sebab, PKI pasti mengetahui,karena Aidit bersama saya menjenguk Bung Karno. Propaganda itu bertujuan untukmemberi alasan keterlibatan PKI dalam G30S. Propaganda itu akan membangun opinipublik bahwa PKI bergerak merebut kekuasaan sebelum didahului oleh pihak lain,mengingat sakit kerasnya Bung Karno.
Yangmengetahui rahasia ini hanya Bung Karno, Aidit, dokter RRC yang didatangkanoleh Aidit dari Kebayoran-Baru, Jakarta, Dokter Leimena, dan saya sendiri.Tanpa berniat membela Aidit, saya yakin bahwa bukan Aidit yang mendalangi PKI,sebab saya tahu persis. Kalau Aidit mendukung pembunuhan anggota DewanJenderal, memang ya. Dalam suatu kesempatan, saya dengar Aidit mendukunggerakan membunuh anggota Dewan Jenderal yang dikabarkan akan melakukan kudetaterhadap Presiden. Sebab, kalau sampai Presiden terguling oleh kelompok militer,maka nasib PKI selanjutnya bakal sulit. Tetapi, Aidit hanya sekadar mendukungdalam bentuk ucapan saja.
Tetapiakhirnya propaganda Soeharto melalui media massa sukses. Kesan bahwa PKImendalangi G30S melekat di benak publik. Malah diperkaya dengan ceritapembantaian para jenderal di Lubang Buaya oleh kelompok Gerwani yangmenari-nari sambil menyiksa para jenderal. Dikabarkan bahwa mata para jenderaldicungkil, kemaluannya dipotong, tubuhnya disayat-sayat. Penyiksaan keji inidiberi nama Upacara Harum Bunga – suatu nama yang sangat kontras dengankekejiannya. Sungguh suatu cerita yang mengerikan.
Cerita inidiperkuat dengan pengakuan seorang wanita bernama Jamilah dan kawan-kawan yangmengaku sebagai orang Gerwani. Saya tidak tahu, siapa Jamilah itu. Tetapicerita ini dipublikasikan oleh pers yang sudah dikuasai Soeharto. Dalam sekejapkemarahan rakyat terhadap PKI tersulut.
Padahal,cerita yang disebarkan Soeharto itu semua bohong. Terbukti, setelah Soehartotumbang, para dokter yang membedah mayat para jenderal dulu bicara di televisi:mayat para jenderal itu utuh, Sama sekali tidak ada tanda-tanda penyiksaan.Memang kulit mayat terkelupas, tetapi berdasarkan penelitian, itu karena mayattersebut terendam di dalam air (sumur) selama beberapa hari.
Saya bukanPKI. Memang, saya pernah menyerukan penghentian pembantaian terhadap pimpinandan anggota PKI oleh AD pada pertengahan Oktober 1965. Itu saat-saat awal PKIdibantai. Seruan saya ini atas perintah Presiden Soekarno yang tidakmenghendaki pertumpahan darah. Bung Karno saat itu masih memegang kendali.Beberapa jam setelah G30S meletus, ia memerintahkan agar semua pasukan bersiapdi tempatnya. Jangan ada yang bergerak di luar perintah Presiden. Sebab, padadasarnya Bung Karno tidak menghendaki pertumpahan darah. Namun perintahPresiden tidak digubris. Seruan saya juga tidak dihiraukan. Pambantaian PKIterus berlangsung.
Malah, sejakitu saya dicap sebagai pro-PKI. Apalagi saya pernah ditugaskan di Moskow. Sayajuga pernah ditugaskan berkunjung (sebagai Menlu) ke Beijing, RRC dan diberitawaran bantuan senjata gratis oleh pimpinan RRC. Sedangkan Moskow dan Beijingadalah poros utama komunis. Dari rangkaian tugas-tugas kenegaraan saya itulantas saya dicap pro-PKI. Saya sebagai pejabat tinggi negara saat itu tidakdapat berbuat banyak menanggapi cap tersebut. Sebab, bukankah semua itu karenasaya menjalankan tugas negara?
Saya merasacap PKI menjadi mengerikan bagi saya, setelah PKI dibantai habis-habisan. PadaSidang Kabinet 11 Maret 1966 di Istana Negara saya menjadi incaran pembunuhantentara, meskipun saat itu saya masih pejabat tinggi negara. Ketika IstanaNegara dikepung oleh pasukan Kostrad pimpinan Kemal Idris dibantu oleh pasukanRPKAD (kelak berubah menjadi Kopassus) pimpinan Sarwo Edhie, jelas sayadiincar. Dari laporan intelijen, saya diberitahu bahwa Kemal Idris bersamapasukannya akan membunuh saya. Itu juga atas persetujuan Soeharto. Tetapiakhirnya saya lolos.
Beberapahari setelah itu baru 15 menteri ditangkap, termasuk saya. Jika sebelumnya cappro-PKI terhadap diri saya tidak terbuka, sejak saya ditangkap cap itu semakinmenyebar secara luas. Malah, Soeharto menambahi julukan baru bagi saya: Durno.Sebagai orang Jawa, tentu saya sangat sakit hati diberi julukan itu. Sebab,Durno adalah tokoh culas dalam pewayangan. Durno suka mengadu-domba. Soaljulukan ini saya tidak tahu bagaimana asal-usulnya. Yang tahu tentu hanyaSoeharto. Tetapi, ini memang bagian dari penghancuran diri saya sebagaipengikut setia Bung Karno. Dan, julukan Durno bagi saya baru muncul setelahsaya ditahan, setelah Bung karno mendekati ajal politiknya.
Di dalampenjara, saya sama sekali tidak disiksa secara fisik. Kalau disiksa mental,sudah jelas. Interogasi tak habis-habisnya hanya untuk tujuan menjatuhkan mental.Sebagai mantan pejabat tinggi negara, saat itu mental saya sudah jatuh. Daripemegang kekuasaan negara berubah menjadi orang tahanan. Mungkin saya mengalamidepresi. Istri saya tentu mengalami hal yang sama. Anak saya satu-satunya masihkecil.
Saya diadilidi Mahmilti tidak lama kemudian. Tetapi, anehnya dakwaan buat saya bukansebagai PKI atau terlibat G30S. Sama sekali tidak menyinggung dua hal pokokitu. Padahal, saya sudah dicap pro-PKI. Saya sudah dijuluki Durno.
Saya diadilikarena ucapan saya bisa menimbulkan kekacauan saat saya berkata: Kalau adateror, tentu bakal muncul kontra-teror. Beberapa setelah G30S meletus, parapemuda yang dimanfaatkan AD mendesak agar Bung Karno diadili. Mereka didukungoleh AD untuk melakukan demonstrasi dan melancarkan teror bagi Bung Karno sertapara pendukungnya. Suatu saat saya mengatakan, jika ada teror (dari parapemuda) maka bakal muncul kontra-teror (entah dari mana).
Nah, ucapansaya ini dinilai bisa memancing kekacauan. Saya dituduh melakukan subversi.Sidang berlangsung singkat, lantas saya dijatuhi hukuman mati. Benar-benarpengadilan sandiwara. Mereka gagal membunuh saya secara terang-terangan diSidang Kabinet 11 Maret 1966, toh mereka bisa membunuh saya secara’konstitusional’ di pengadilan sandiwara ini. Naik banding dan kasasi sayatempuh sekadar semacam reflek menghindari kematian. Namun upaya hukum itupercuma. Sebab, pengadilannya saja sudah sandiwara.
Dan,pengadilan sandiwara di banyak kasus seputar G30S dan PKI di awal kepemimpinanSoeharto, kemudian berdampak sangat buruk bagi Indonesia. Sejak itu sampaisekarang, pengadilan sandiwara merupakan hal lumrah. Pengadilan sandiwara kasusseputar G30S merupakan semacam yurisprudensi (rujukan) bagi serentetan amatpanjang pengadilan sandiwara berikutnya. Moral aparat hukum rusak berat.Pengadilan berbagai kasus di-subversi-kan berikutnya: Tanjung Priok, Lampung,demonstrasi mahasiswa yang kritis terhadap pemerintah Orde Baru, diadili denganpengadilan sandiwara merujuk G30S. Bahkan juga kasus-kasus korupsi. Salahmenjadi benar, benar menjadi salah.
Ini samasekali bukan pelampiasan dendam saya terhadap Soeharto. Tak kurang Presiden KHAbdurrahman Wahid (tidak ada hubungannya dengan saya) sampai melontarkanpernyataan bahwa seluruh hakim Jakarta akan diganti dengan hakim impor.
Di dalampenjara, awalnya saya mengalami depresi. Kesalahan saya satu-satunya adalahmenjadi pengikut setia Bung Karno. Namun kemudian saya tidak menyesal menjadipengikut setia Bung Karno, sebab itu sudah menjadi tekad saya. Dan, inimerupakan risiko bagi semua orang yang berkecimpung di bidang politik.
Saya masuksel isolasi, terpisah dengan napi lain. Meskipun saya tidak disiksa fisik,namun direkayasa sedemikian rupa sehingga batin saya benar-benar tersiksa.Kondisi penjara yang sangat buruk, suatu saat membuat perut saya terluka danmengalami infeksi. Saya tahu, itu obatnya sederhana saja. Tetapi, pemerintahtidak menyediakan. Luka saya dibiarkan membusuk digerogoti bakteri. Ketika lukasaya sudah benar-benar parah (berulat), baru diberi obat. Rupanya pemberianobat yang terlambat itu memang disengaja. Akibatnya, luka memang sembuh. Namunsampai kini sering kambuh, rasa nyeri luar biasa.
Di dalam,saya dilarang menulis, membaca berita, dijenguk keluarga atau teman (barubeberapa tahun kemudian dibolehkan). Satu-satunya bacaan saya adalah ayat suciAl-Qur’an. Tetapi, bacaan ini seperti mengembalikan saya pada suasana masakanak-kanak yang agamis. Saya malah mendapatkan ketenangan jiwa yang tidak sayarasakan ketika saya menjadi pejabat tinggi negara.
Akhirnyasaya lolos dari hukuman mati karena kawat dari dua petinggi negara adidaya, ASdan Inggris. Hukuman saya diubah menjadi seumur hidup. Tetapi saya tetapditempatkan di sel isolasi mulai dari Salemba (Rutan Salemba), LP Cimahi,sampai LP Cipinang.
Pada tahun1978 anak saya Budojo meninggal dunia karena serangan jantung. Ibunyabenar-benar mengalami depresi berat. Sejak saya dihukum, hanya Budojo yangmembuat ibunya tabah menghadapi cobaan. Saya bisa membayangkan, betapa isterisaya hidup nelangsa. Dari seorang istri pejabat tinggi negara, menda-dakberubah menjadi ’istri Durno’, disusul anak satu-satunya pun meninggal dunia.Maka, beberapa bulan kemudian istri saya menyusul Budojo, berpulang kerahmatullah. Tinggallah saya sendiri. Tetap kesepian di penjara. Tidak ada lagiyang menjenguk.
Tetapi,diam-diam ada seorang wanita yang bersimpati pada saya. Dia adalah mantanisteri Kolonel Bambang Supeno. Bambang adalah perwira tinggi AD yang ikutmendukung G30S atas instruksi Soeharto. Namun, seperti nasib perwira pelakuG30S lainnya, Bambang dihukum dan akhirnya meninggal dunia. Istrinya, SriKoesdijantinah, janda dengan dua anak, lantas bersimpati pada saya. Kamiakhirnya menikah di LP Cipinang pada tahun 1990. Saya sangat kagum pada Sriyang rela menikah dengan narapidana. Sangat jarang ada wanita setulus dia.
Kini hidupsaya tidak sendiri lagi. Meskipun saya tetap meringkuk di sel khusus, tetapisetiap pekan ada lagi orang yang menjenguk, setelah bertahun-tahun kosong. Srimuncul di saat semangat hidup saya nyaris padam. Setiap pekan dia membawa-kansaya nasi rawon kesukaan saya. Juga dua orang anak Sri sangat perhatian. kepadasaya. Sebagai sesama korban Soeharto, kami menjadi bersatu. Saya lantas menjadisadar bahwa bukan hanya saya korban kekejaman Soeharto. Ada banyak korban lainyang jauh lebih sengsara dibanding saya. Sri benar-benar membuat hidup sayabersinar kembali.
Pada tanggal16 Agustus 1995 saya dibebaskan. Saya pulang bersama Sri dan anak-anak. Kamimenempati rumah besar di Jalan Imam Bonjol 16 yang dulu saya tinggalkan. Sayaseperti bangun tidur di pagi hari. Saya seperti baru saja bermimpi, 30 tahundalam kegelapan di penjara. Saya seperti menemukan hari baru yang cerah. Sayabersujud syukur alhamdulillah, masih diberi kesempatan menghirup udara bebas.
Setahunmenempati rumah itu, kami merasa kewalahan. Biaya perawatannya sangat mahal.Sebagai seorang dosen di sebuah perguruan tinggi swasta, honor Sri tidakseberapa. Apalagi saya, penganggur tanpa penghasilan. Tiga jabatan sangatpenting saya di zaman Presiden Soekarno tidak dihargai sama sekali. Saya tidakdiberi uang pensiun. Akhirnya kami menjual rumah besar itu. Sebagai gantinya,kami membeli rumah lebih kecil di Jakarta Selatan.
Setelah Soehartotumbang, banyak orang datang kepada saya, menganjurkan saya membuat memoar.Saya sesungguhnya tidak tertarik. Selain tidak memiliki persiapan yang matang,juga tidak ada gunanya bagi saya mengungkap masa lalu. Biarlah itu berlalu. Tohsaya sudah menjalani hukuman 30 tahun. Toh saya sudah menerima hinaan disebutDurno, PKI, dan sebagainya. Saya sudah ikhlas menerimanya. Saya sudah legowo.Usia saya sudah senja. Tinggal meningkatkan amal soleh dan ibadah, sebagaibekal menghadap Sang Khalik, suatu saat nanti. Apalagi Soeharto akhirnyatumbang juga. Kalau saya mengungkap masa lalu, saya bisa larut dalam emosi.Maka, anjuran itu tidak saya turuti.
Namun,teman-teman sezaman, baik dari dalam maupun luar negeri terus menghu-bungisaya, baik melalui telepon maupun bertemu langsung. Mereka mengatakan, sejarahG30S sudah dibengkokkan. Kata mereka, saya harus mengatakan yang sebenarnyauntuk meluruskan sejarah. Ini bukan untuk anda, tapi penting bagi generasi mudaagar tidak tertipu oleh sejarah yang dimanipulir, kata salah seorang darimereka.
Diinformasikanbahwa salah satu pelaku sejarah G30S yang amat penting, Kolonel Abdul Latiefjuga membuat buku berisi pledoinya dulu. Tetapi ada dugaan bahwa Latief tidakmengungkap total misteri G30S. Sebab, Mingguan terbitan Hongkong, Far EasternEconomic Review edisi 2 Agustus 1990 memberitakan bahwa memoar Latief yanglengkap disimpan di sebuah bank di luar Indonesia dengan pesan, bolehdipublikasikan jika Latief dibunuh. Itu berarti G30S masih misteri.
Saya sempatbimbang. Keinginan saya mengubur masa lalu seperti digoyang begitu kuat.Apalagi banyak penulis kenamaan datang kepada saya, siap menuliskan memoarsaya. Dalam kebimbangan itu saya ingat pada seorang wartawan muda yang palingsering mewawancarai saya, Djono W. Oesman. Dia saya hubungi dan saya mintamenuliskan cerita saya, sebab saya percaya padanya. Dia pun setuju. Dialahpenyunting tulisan ini. Hanya saya dan dia yang menyusun potongan-potonganperistiwa
Sayamenyadari bahwa mungkin banyak kekurangan di dalam tulisan ini. Maklum, G30Sadalah masalah internal AD, dan saya bukan dari AD. Tetapi saya adalah pelakusejarah G30S yang mengalami semua kejadian sebelum, saat meletus, sampai dampakperistiwa itu.
Mungkin,inilah sumbangan saya, bagian dari amal ibadah untuk bekal kehidupan saya diakhirat kelak. Semoga ada manfaatnya. Aamiin yaa Robbal Alam
dari Anto D Slamet Subud
Anda
akan tiba di tempat jika Anda mendiskusikan Latihan, membandingkan atau
similarizing dengan metode atau mengubah nama lainnya. Seperti
Bapak bilang, hanya melakukan Latihan Anda, jangan berteori, tidak
berpikir tentang hal itu dengan pikiran Anda - hanya menerima. Bapak
sendiri tidak tahu persis apa yang ia sebut fenomena Latihan
sebenarnya, sehingga ia menamainya Latihan Kejiwaan, pelatihan jiwa. Terminologi
"latihan" di Subud berdiri tepat di seberang makna yang tepat dari
"latihan" dalam Bahasa Indonesia, yang berarti pelatihan - satu proses
harus menjalani sebelum dia menghadapi kontes. Teman-teman
non-Subud, tahu bahwa aku pergi ke Subud melakukan Latihan, sering
berkata, "Apa yang Anda melatih untuk? Anda selalu kereta api, tetapi
tidak pernah bersaing. Marilah kita tahu ketika kompetisi, akan Anda!",
Tidak mengetahui bahwa Latihan yang Subud tidak ada habisnya. Apakah seseorang ingin nama Moving Meditasi atau hanya "X", tidak membuat kesepakatan besar dari itu. Setidaknya, kita tahu bahwa pemberi nama telah berpikir terlalu banyak. Saya
telah melakukan Latihan selama 15 tahun berturut-turut sekarang, itulah
jauh lebih sedikit daripada sebagian besar dari Anda, saya kira, tetapi
tidak pernah saya bertanya atau berpikir apa itu. Kebanyakan
anggota di Indonesia, khususnya di Jawa, karena norma-norma lokal yang
menganggap mempertanyakan otoritas sebagai sopan dan menghindari
berpikir terlalu banyak, hanya seperti saya. Pembantu di Indonesia semua mengatakan kepada kita untuk hanya menerima. Menerima dan Anda akan mengerti sendiri apa Latihan adalah semua tentang. Dan jika Anda tiba di pemahaman itu adalah khusus untuk Anda sendiri. Latihan ini tidak seperti meditasi di mana Anda perlu penjelasan panjang lebar untuk datang pada pemahaman tentang apa itu. Itu
hanya menerima apa yang diberikan kepada Anda dalam perjalanan dari
Latihan, tidak perlu heran atau menganalisis Receivings. Seorang
pembantu perempuan tua di Cilandak yang dekat dengan Bapak karena dia
sering disertai Bapak ke banyak perjalanannya di seluruh dunia, setelah
mendesak saya untuk tidak berdebat begitu keras dengan anggota Subud
dari negara-negara asing, khususnya Barat (dia punya email keras saya
untuk Penulis Subud Internasional mailing-list diteruskan ke dia). "Biarkan
mereka menjadi. Mereka berada di Subud selama bertahun-tahun, namun
mereka masih bertindak dan berpikir seperti anak-anak! Mereka berpikir
terlalu banyak, tidak tahu bahwa Latihan ini hanya menerima dalam
keadaan menyerah. Pada akhirnya itu akan Anda yang ..
menderita konsekuensi Lihatlah di sini, kita semua bertahan proses
untuk tumbuh dan berkembang melalui Latihan proses ini membongkar batin
kita dan membersihkannya Beberapa hal-hal buruk yang mungkin terjadi,
tetapi tidak apa-apa -. jangan menghindari mereka Cukup ikuti. .
bimbingan sabar, tulus dan mengundurkan diri Jangan pernah mencoba
untuk mempercepat atau Anda akan kehilangan pelajaran paling penting
yang Tuhan atau apa pun yang Anda percaya ingin mengajarkan Anda Ingat
bahwa -.! hanya menerima " katanya. Aku ingat nasihat setiap kali pertanyaan muncul mengenai penerimaan selama Latihan tersebut. Dalam hal ini, saya masih menghormati saudara Subud saya dan saudara di sini, siapa pun mereka dan apa pun yang mereka katakan.
Google Translate for Business:Translator Toolkit
Google Translate for Business:Translator Toolkit
Wednesday, August 14, 2013
FILSAFAT
Filsafat Sebagai Ilmu Tentang Kehidupan Manusia
(Ditinjau dari Perspektif Filsafat Budaya)
Pendahuluan
Kehidupan secara lebih baik merupakan tujuan yang ingin dicapai oleh manusia dalam kehidupannya. Untuk mencapai hidup secara lebih baik manusia perlu untuk dibentuk atau diarahkan. Pembentukan manusia itu dapat melalui pendidikan atau ilmu yang mempengaruhi pengetahuan tentang diri dan dunianya, melalui kehidupan sosial atau polis, dan melalui agama[1]. Dalam paper kerja ini kami akan membahas tentang unsur-unsur pembentuk manusia yang dapat membantu manusia untuk hidup lebih baik. Dengan kata lain, konteks filsafat budaya sebagai ilmu tentang kahidupan manusia akan lebih disempitkan atau dibatasi pada kerangka berpikir pembentukan manusia yang lebih baik. Pembentukan manusia yang lebih baik bukan dalam arti moral; baik buruknya manusia, tetapi dalam arti pembentukan manusia sebagai makhluk yang hidup dan berbudaya dalam perspektif filsafat budaya, yakni hidup yang lebih bijaksana, dan lebih kritis. Filsafat bukanlah ilmu positif seperti fisika, kimia, biologi, tetapi filsafat adalah ilmu kritis yang otonom di luar ilmu-ilmu positif. Kelompok mencoba mengangkat tiga unsur pembentukan manusia. Ketiga unsur pembentuk itu antara lain: (1) pengetahuan manusia tentang diri sendiri dan lingkungannya; (2) manusia dalam hubungannya dengan hidup komunitas; dan (3) agama membantu manusia hidup dengan lebih baik.
Pengetahuan menjadi unsur yang penting dalam usaha membentuk manusia yang lebih baik. Dengan pengetahuan yang memadai manusia dapat mengembangkan diri dan hidupnya. Apa yang diketahui secara lebih umum dalam pengetahuan, dalam ilmu diketahui secara lebih masuk akal.[2] Dalam hal ini ilmu lebih kritis daripada hanya menerima apa yang didapat dari pengetahuan. Sekalipun demikian kelompok megangkat pengetahuan untuk memahami hidup manusia dan secara kritis dilihat oleh ilmu. Pengetahuan yang dimaksud di sini lebih pada pengetahuan manusia tentang diri sendiri dan dunianya. Ketika manusia mengetahui dan mengenal dirinya secara penuh, ia akan hidup secara lebih sempurna dan lebih baik dalam dunia yang adalah dunianya. Berkaitan dengan itu manusia juga membutuhkan pengetahuan tentang lingkungan atau dunianya. Dengan pengetahuan yang ia miliki tentang dunia atau lingkungannya, manusia dapat mengadaptasikan dirinya secara cepat dan lebih mudah.
Manusia ternyata tidak hidup sendirian dalam dunianya. Ia hidup dalam hubungan dengan dan membutuhkan manusia lain, yang menunjukkan hakikat dari manusia, yaitu sebagai makhluk sosial. Manusia membutuhkan orang lain untuk dapat membentuk dan mengembangkan dirinya sehingga dapat hidup secara lebih baik; lebih bijaksana dan lebih kritis. Dengan demikian manusia pada hakikatnya hidup bersama dengan orang lain atau hidup dalam suatu komunitas tertentu, mengalami kehidupan polis. Jadi, kebersamaannya dengan orang lain dalam suatu komunitas inilah yang turut menentukan pembentukan yang memperkenankan manusia itu hidup atas cara yang lebih baik dan lebih sempurna dalam dunianya.
Unsur lain yang menurut kelompok dapat membantu membentuk manusia sehingga manusia dapat hidup secara lebih baik, lebih bijaksana adalah agama. Dengan kata lain, agama mengandung nilai-nilai universal yang pada hakikatnya mengajarkan yang baik bagi penganutnya.
Ketiga unsur pembentuk manusia untuk hidup secara lebih baik itu akan dilihat dan dijelaskan secara lebih dalam pokok-pokok berikut.
I. Manusia mengetahui dirinya dan dunianya
Telah dikatakan sebelumnya (pada bagian pendahuluan) bahwa pengetahuan merupakan salah satu unsur yang penting dalam hubungan dengan pembentukan manusia untuk hidup secara lebih baik dan lebih sempurna. Manusia adalah makluk yang sadar dan mempunyai pengetahuan akan dirinya. Selain itu juga manusia juga mempunyai pengetahuan akan dunia sebagai tempat dirinya bereksistensi. Dunia yang dimaksudkan di sini adalah dunia yang mampu memberikan manusia kemudahan dan tantangan dalam hidup. Dunia di mana manusia bereksistensi dapat memberikan kepada manusia sesuatu yang berguna bagi pembentukan dan pengembangan dirinya.
Pengetahuan merupakan kekayaan dan kesempurnaan bagi makhluk yang memilikinya. Manusia dapat mengetahui segala-galanya, maka ia menguasai makhluk lain yang penguasaannya terhadap pengetahuan kurang. Dalam lingkungan manusia sendiri seseorang yang tahu lebih banyak adalah lebih baik bila dibandingkan dengan yang tidak tahu apa-apa[3]. Pengetahuan menjadikan manusia berhubungan dengan dunia dan dengan orang lain, dan itu membentuk manusia itu sendiri.
Namun, pengetahuan manusia begitu kompleks. Pengetahuan manusia menjadi kompleks karena dilaksanakan oleh suatu makhluk yang bersifat daging dan jiwa sekaligus, maka pengetahuan manusia merupakan sekaligus inderawi dan intelektif. Pengetahuan dikatakan inderawi lahir atau luar bila pengetahuan itu mencapai secara langsung, melalui penglihatan, pendengaran, penciuman, perasaan dan peraba, kenyataan yang mengelilingi manusia. Sementara, pengetahuan itu dikatakan inderawi batin ketika pengetahuan itu memperlihatkan kepada manusia, dengan ingatan dan khayalan, baik apa yang tidak ada lagi atau yang belum pernah ada maupun yang terdapat di luar jangkauan manusia. Pengetahuan intelektif merupakan watak kodrati pengetahuan manusia yang lebih tinggi.[4]
Lalu bagaimana pengetahuan yang dimiliki manusia tentang dirinya dan dunianya dapat membentuk manusia untuk hidup secara lebih baik? Manusia mengetahui dirinya berarti mengenal dengan baik kelebihan dan kekurangan yang ada pada dirinya. Sementara, manusia mengetahui duninya berarti menusia mengenal secara baik apa yang ada atau terkandung dalam dunianya itu, baik potensi yang dapat memudahkan manusia itu sendiri maupun tantangan yang diperhadapkan kepadanya. Kekurangan manusia dapat diatasi dengan apa yang ada dalam dunianya. Tentu saja melalui suatu relasi, baik relasi dengan orang lain maupun relasi dengan alam. Pengetahuan dan pengenalan atas diri dan dunianya membantu manusia untuk mengarahkan dirinya kepada hidup yang lebih baik. Salah satu cara manusia mengetahui dirinya dan lingkungannya adalah melalui pendidikan. Dan pendidikan di sini tentu saja pendidikan yang diharuskan untuk seni yang baik, yang khas hanya untuk manusia, dan yang membedakannya dari semua binatang.[5]
Jadi, melalui pengetahuanlah manusia mempunyai hubungan dengan dirinya, dunia dan orang lain. Melalui pengetahuan benda-benda dimanisfestasikan dan orang-orang dikenal, dan bahwa tiap orang menghadiri dirnya. Melalui pengetahuan pula manusia bisa berada lebih tinggi, dan dapat membentuk hidupnya secara lebih baik. Dengan pengetahuan manusia dapat melalukan sesuatu atau membentuk kembali sesuatu yang rusak menjadi baik berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya. Melalui pengetahuan manusia dapat mengenal dirinya, orang lain dan dunia di sekitarnya, sehingga ia mampu menempatkan dirinya dalam dunianya itu (dapat beradaptasi dengan dunianya).
II. Manusia dalam hidup komunitas
Secara umum komunitas dapat diartikan sebagai suatu perkumpulan atau persekutuan manusia yang bersifat permanen demi pencapaian suatu tujuan umum yang diinginkan. Dan umumnya tujuan yang hendak dicapai itu didasarkan atas kesatuan cinta dan keprihatinan timbal balik satu dengan yang lain.[6] Jadi, secara tidak langsung hidup komunitas dapat dimengerti sebagai suatu kehidupan dimana terdapat individu-individu manusia yang membentuk suatu persekutuan guna mancapai suatu tujuan bersama. Dan tujuan yang dicapai itu selalu merunjuk pada nilai-nilai tertentu yang diinginkan bersama. Misalnya, nilai kebaikan, keindahan, kerja sama dan sebagainya. Selanjutnya, dalam mencapai tujuan bersama itu setiap individu (anggota persekutuan) saling berinteraksi atau bekerjasama satu dengan yang lain guna tercapainya tujuan yang ingin dicapai.
Akan tetapi serentak pula tak dapat disangkal bahwa melalui kehidupan komunitas kepribadian manusia dapat dibentuk melalui proses sosialisai dan internalisasi. Artinya, melalui nilai-nilai yang dicapai dalam hidup komunitas itu disampaikan kepada setiap individu (anggota persekutuan). Selanjutnya, nilai-nilai itu dijadikan oleh pegangan dalam diri setiap individu.
Dalam hubungan dengan pembentukan manusia untuk hidup secara lebih baik, maka pertanyaan yang patut dikemukakan adalah apakah kehidupan komunitas dapat membentuk manusia untuk hidup secara lebih baik atau lebih bijaksana dan kritis?
Menjawab pertanyaan di atas maka dapat dikatakan bahwa kehidupan komunitas dapat membentuk hidup manusia secara lebih baik. Dapat dikatakan demikian karena pada dasarnya kodrat manusia adalah makhluk sosial. Itu berarti manusia selalu berada bersama dengan sesamanya atau orang lain. Ia tidak berada sendirian, melainkan selalu berada bersama dengan orang lain. Manusia selalu berada dengan orang lain dan membentuk suatu persekutuan yang disebut sebagai komunitas. Mereka membentuk hidup besama karena ada nilai yang ingin dicapai secara bersama. Nilai yang ingin dicapai adalah membentuk hidup secara lebih baik. Nilai hidup secara lebih baik itu dicapai lewat interaksi atau kerja sama setiap individu dalam komunitas. Selanjutnya, setelah mencapai nilai yang diinginkan itu (membentuk hidup secara lebih baik), kemudian disosialisasikan kepada individu (anggota komunitas) dan selanjutnya individu menjadikan nilai tersebut menjadi pegangan dalam dirinya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa melalui kehidupan komunitas dapat membentuk hidup manusia secara lebih baik, lewat nilai yang ditemukan dalam kehidupan komunitas itu. Nilai itulah yang membentuk manusia menjadi lebih baik, lebih bijaksana dan kritis dalam hidup.
III. Agama membantu manusia hidup lebih baik
Arti budaya telah diangkat kembali oleh renesans dengan karakter naturalistik, yaitu budaya dipahami sebagai pembentukan manusia dalam dunianya, yakni sebagai pembentukan yang memperkenankan manusia hidup atas cara yang lebih bijaksana dan lebih sempurna dalam dunia yang adalah dunianya.[7] Dalam konteks ini, agama mendapat tempat dan peranan penting. Agama dimengerti sebagai unsur integral dari budaya, terutama karena mengajarkan bagaimana hidup dengan baik, hidup dengan bijaksana dan nilai-nilai universal lainnya. Dalam agama terkandung ajaran-ajaran kebijaksanaan (dalam arti tertentu filsafat dipahami sebagai kebijaksanaan) yang dapat mengarahkan manusia kepada hidup yang lebih baik. Dengan demikian, hidup yang lebih baik dalam perspektif filsafat budaya adalah pembentukan kebijaksanaan secara internal dalam diri manusia melalui ajaran-ajaran agama.
Manusia tidak dapat dilepaskan dari agama dalam kehidupannya. Maksudnya adalah bahwa agama menjadi sarana di mana manusia dapat memenuhi keinginannya untuk dapat hidup dengan lebih bijaksana. Dengan kata lain agama membantu manusia untuk dapat hidup lebih baik. Melalui agama manusia dapat menjadi bijaksana untuk mencapai realisasi dirinya yang lengkap sehingga menjadi suatu microcosmos yang sempurna dalam macrocosmos.[8]
Setiap agama umumnya mengajarkan kepada para penganut atau pengikutnnya untuk hidup sebagai orang yang saleh, baik di hadapan manusia maupun di hadapan yang ilahi. Dengan demikian agama dapat mengarahkan manusia kepada hidup yang lebih baik. Agama membentuk manusia untuk menjadi lebih baik, lebih bijaksana dengan menanamkan nilai-nilai universal dalam diri manusia itu.
Penutup
Filsafat budaya sebagai ilmu tentang kehidupan manusia dapat dimengerti secara lebih sempit dengan ide pembentukan manusia yang lebih baik. Dalam konteks atau kerangka pemikiran itu kelompok berusaha menjelaskan dengan mengungkapkan tiga unsur yang membentuk manusia menjadi lebih baik. Ketiga unsur tersebut antara lain: (1) pengetahuan manusia tentang diri dan dunianya, (2) relasi manusia dalam kehidupan polis atau hidup sosial, dan (3) agama yang mengandung dan mengajarkan nilai-nilai universal yang dapat mengarahkan dan membentuk manusia menjadi lebih baik.
Untuk unsur pertama dan kedua merupakan karakter konstitutif dari arti budaya untuk orang Yunani, yaitu penelitian dan realisasi yang manusia lakukan tentang dirinya sendiri, yakni tentang kodrat manusia yang benar. Pengetahuan manusia tentang dirinya dan dunianya sangat erat hubungannya dengan filsafat. Manusia tidak dapat mewujudkan diri tanpa melalui pengetahuan akan diri sendiri dan akan dunianya. Sementara relasi manusia dalam kehidupan sosial atau kehidupan polis sangat erat hubungannya dengan kehidupan bermasyarakat. Manusia tidak dapat mewujudkan diri tanpa kehidupan dalam komunitas atau kehidupan polis.
Dan unsur ketiga dijelaskan dalam hubungan dengan diangkat kembali pengertian budaya sebagai pembentukan manusia dalam dunianya yang memperkenankan manusia hidup atas cara yang lebih baik (lebih bijaksana dan kritis) dalam dunianya. Pengertian ini diangkat kembali oleh renesans. Agama dimengerti sebagai unsur integral dari budaya dalam konteks ini. Karena agama mengandung mengajarkan hal-hal yang berkaitan dengan moralitas, yang dapat mengarahkan dan membentuk manusia menjadi lebih baik.
— bersama Iman Santoso, Lilik Dairi, Yoyok
Pendahuluan
Kehidupan secara lebih baik merupakan tujuan yang ingin dicapai oleh manusia dalam kehidupannya. Untuk mencapai hidup secara lebih baik manusia perlu untuk dibentuk atau diarahkan. Pembentukan manusia itu dapat melalui pendidikan atau ilmu yang mempengaruhi pengetahuan tentang diri dan dunianya, melalui kehidupan sosial atau polis, dan melalui agama[1]. Dalam paper kerja ini kami akan membahas tentang unsur-unsur pembentuk manusia yang dapat membantu manusia untuk hidup lebih baik. Dengan kata lain, konteks filsafat budaya sebagai ilmu tentang kahidupan manusia akan lebih disempitkan atau dibatasi pada kerangka berpikir pembentukan manusia yang lebih baik. Pembentukan manusia yang lebih baik bukan dalam arti moral; baik buruknya manusia, tetapi dalam arti pembentukan manusia sebagai makhluk yang hidup dan berbudaya dalam perspektif filsafat budaya, yakni hidup yang lebih bijaksana, dan lebih kritis. Filsafat bukanlah ilmu positif seperti fisika, kimia, biologi, tetapi filsafat adalah ilmu kritis yang otonom di luar ilmu-ilmu positif. Kelompok mencoba mengangkat tiga unsur pembentukan manusia. Ketiga unsur pembentuk itu antara lain: (1) pengetahuan manusia tentang diri sendiri dan lingkungannya; (2) manusia dalam hubungannya dengan hidup komunitas; dan (3) agama membantu manusia hidup dengan lebih baik.
Pengetahuan menjadi unsur yang penting dalam usaha membentuk manusia yang lebih baik. Dengan pengetahuan yang memadai manusia dapat mengembangkan diri dan hidupnya. Apa yang diketahui secara lebih umum dalam pengetahuan, dalam ilmu diketahui secara lebih masuk akal.[2] Dalam hal ini ilmu lebih kritis daripada hanya menerima apa yang didapat dari pengetahuan. Sekalipun demikian kelompok megangkat pengetahuan untuk memahami hidup manusia dan secara kritis dilihat oleh ilmu. Pengetahuan yang dimaksud di sini lebih pada pengetahuan manusia tentang diri sendiri dan dunianya. Ketika manusia mengetahui dan mengenal dirinya secara penuh, ia akan hidup secara lebih sempurna dan lebih baik dalam dunia yang adalah dunianya. Berkaitan dengan itu manusia juga membutuhkan pengetahuan tentang lingkungan atau dunianya. Dengan pengetahuan yang ia miliki tentang dunia atau lingkungannya, manusia dapat mengadaptasikan dirinya secara cepat dan lebih mudah.
Manusia ternyata tidak hidup sendirian dalam dunianya. Ia hidup dalam hubungan dengan dan membutuhkan manusia lain, yang menunjukkan hakikat dari manusia, yaitu sebagai makhluk sosial. Manusia membutuhkan orang lain untuk dapat membentuk dan mengembangkan dirinya sehingga dapat hidup secara lebih baik; lebih bijaksana dan lebih kritis. Dengan demikian manusia pada hakikatnya hidup bersama dengan orang lain atau hidup dalam suatu komunitas tertentu, mengalami kehidupan polis. Jadi, kebersamaannya dengan orang lain dalam suatu komunitas inilah yang turut menentukan pembentukan yang memperkenankan manusia itu hidup atas cara yang lebih baik dan lebih sempurna dalam dunianya.
Unsur lain yang menurut kelompok dapat membantu membentuk manusia sehingga manusia dapat hidup secara lebih baik, lebih bijaksana adalah agama. Dengan kata lain, agama mengandung nilai-nilai universal yang pada hakikatnya mengajarkan yang baik bagi penganutnya.
Ketiga unsur pembentuk manusia untuk hidup secara lebih baik itu akan dilihat dan dijelaskan secara lebih dalam pokok-pokok berikut.
I. Manusia mengetahui dirinya dan dunianya
Telah dikatakan sebelumnya (pada bagian pendahuluan) bahwa pengetahuan merupakan salah satu unsur yang penting dalam hubungan dengan pembentukan manusia untuk hidup secara lebih baik dan lebih sempurna. Manusia adalah makluk yang sadar dan mempunyai pengetahuan akan dirinya. Selain itu juga manusia juga mempunyai pengetahuan akan dunia sebagai tempat dirinya bereksistensi. Dunia yang dimaksudkan di sini adalah dunia yang mampu memberikan manusia kemudahan dan tantangan dalam hidup. Dunia di mana manusia bereksistensi dapat memberikan kepada manusia sesuatu yang berguna bagi pembentukan dan pengembangan dirinya.
Pengetahuan merupakan kekayaan dan kesempurnaan bagi makhluk yang memilikinya. Manusia dapat mengetahui segala-galanya, maka ia menguasai makhluk lain yang penguasaannya terhadap pengetahuan kurang. Dalam lingkungan manusia sendiri seseorang yang tahu lebih banyak adalah lebih baik bila dibandingkan dengan yang tidak tahu apa-apa[3]. Pengetahuan menjadikan manusia berhubungan dengan dunia dan dengan orang lain, dan itu membentuk manusia itu sendiri.
Namun, pengetahuan manusia begitu kompleks. Pengetahuan manusia menjadi kompleks karena dilaksanakan oleh suatu makhluk yang bersifat daging dan jiwa sekaligus, maka pengetahuan manusia merupakan sekaligus inderawi dan intelektif. Pengetahuan dikatakan inderawi lahir atau luar bila pengetahuan itu mencapai secara langsung, melalui penglihatan, pendengaran, penciuman, perasaan dan peraba, kenyataan yang mengelilingi manusia. Sementara, pengetahuan itu dikatakan inderawi batin ketika pengetahuan itu memperlihatkan kepada manusia, dengan ingatan dan khayalan, baik apa yang tidak ada lagi atau yang belum pernah ada maupun yang terdapat di luar jangkauan manusia. Pengetahuan intelektif merupakan watak kodrati pengetahuan manusia yang lebih tinggi.[4]
Lalu bagaimana pengetahuan yang dimiliki manusia tentang dirinya dan dunianya dapat membentuk manusia untuk hidup secara lebih baik? Manusia mengetahui dirinya berarti mengenal dengan baik kelebihan dan kekurangan yang ada pada dirinya. Sementara, manusia mengetahui duninya berarti menusia mengenal secara baik apa yang ada atau terkandung dalam dunianya itu, baik potensi yang dapat memudahkan manusia itu sendiri maupun tantangan yang diperhadapkan kepadanya. Kekurangan manusia dapat diatasi dengan apa yang ada dalam dunianya. Tentu saja melalui suatu relasi, baik relasi dengan orang lain maupun relasi dengan alam. Pengetahuan dan pengenalan atas diri dan dunianya membantu manusia untuk mengarahkan dirinya kepada hidup yang lebih baik. Salah satu cara manusia mengetahui dirinya dan lingkungannya adalah melalui pendidikan. Dan pendidikan di sini tentu saja pendidikan yang diharuskan untuk seni yang baik, yang khas hanya untuk manusia, dan yang membedakannya dari semua binatang.[5]
Jadi, melalui pengetahuanlah manusia mempunyai hubungan dengan dirinya, dunia dan orang lain. Melalui pengetahuan benda-benda dimanisfestasikan dan orang-orang dikenal, dan bahwa tiap orang menghadiri dirnya. Melalui pengetahuan pula manusia bisa berada lebih tinggi, dan dapat membentuk hidupnya secara lebih baik. Dengan pengetahuan manusia dapat melalukan sesuatu atau membentuk kembali sesuatu yang rusak menjadi baik berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya. Melalui pengetahuan manusia dapat mengenal dirinya, orang lain dan dunia di sekitarnya, sehingga ia mampu menempatkan dirinya dalam dunianya itu (dapat beradaptasi dengan dunianya).
II. Manusia dalam hidup komunitas
Secara umum komunitas dapat diartikan sebagai suatu perkumpulan atau persekutuan manusia yang bersifat permanen demi pencapaian suatu tujuan umum yang diinginkan. Dan umumnya tujuan yang hendak dicapai itu didasarkan atas kesatuan cinta dan keprihatinan timbal balik satu dengan yang lain.[6] Jadi, secara tidak langsung hidup komunitas dapat dimengerti sebagai suatu kehidupan dimana terdapat individu-individu manusia yang membentuk suatu persekutuan guna mancapai suatu tujuan bersama. Dan tujuan yang dicapai itu selalu merunjuk pada nilai-nilai tertentu yang diinginkan bersama. Misalnya, nilai kebaikan, keindahan, kerja sama dan sebagainya. Selanjutnya, dalam mencapai tujuan bersama itu setiap individu (anggota persekutuan) saling berinteraksi atau bekerjasama satu dengan yang lain guna tercapainya tujuan yang ingin dicapai.
Akan tetapi serentak pula tak dapat disangkal bahwa melalui kehidupan komunitas kepribadian manusia dapat dibentuk melalui proses sosialisai dan internalisasi. Artinya, melalui nilai-nilai yang dicapai dalam hidup komunitas itu disampaikan kepada setiap individu (anggota persekutuan). Selanjutnya, nilai-nilai itu dijadikan oleh pegangan dalam diri setiap individu.
Dalam hubungan dengan pembentukan manusia untuk hidup secara lebih baik, maka pertanyaan yang patut dikemukakan adalah apakah kehidupan komunitas dapat membentuk manusia untuk hidup secara lebih baik atau lebih bijaksana dan kritis?
Menjawab pertanyaan di atas maka dapat dikatakan bahwa kehidupan komunitas dapat membentuk hidup manusia secara lebih baik. Dapat dikatakan demikian karena pada dasarnya kodrat manusia adalah makhluk sosial. Itu berarti manusia selalu berada bersama dengan sesamanya atau orang lain. Ia tidak berada sendirian, melainkan selalu berada bersama dengan orang lain. Manusia selalu berada dengan orang lain dan membentuk suatu persekutuan yang disebut sebagai komunitas. Mereka membentuk hidup besama karena ada nilai yang ingin dicapai secara bersama. Nilai yang ingin dicapai adalah membentuk hidup secara lebih baik. Nilai hidup secara lebih baik itu dicapai lewat interaksi atau kerja sama setiap individu dalam komunitas. Selanjutnya, setelah mencapai nilai yang diinginkan itu (membentuk hidup secara lebih baik), kemudian disosialisasikan kepada individu (anggota komunitas) dan selanjutnya individu menjadikan nilai tersebut menjadi pegangan dalam dirinya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa melalui kehidupan komunitas dapat membentuk hidup manusia secara lebih baik, lewat nilai yang ditemukan dalam kehidupan komunitas itu. Nilai itulah yang membentuk manusia menjadi lebih baik, lebih bijaksana dan kritis dalam hidup.
III. Agama membantu manusia hidup lebih baik
Arti budaya telah diangkat kembali oleh renesans dengan karakter naturalistik, yaitu budaya dipahami sebagai pembentukan manusia dalam dunianya, yakni sebagai pembentukan yang memperkenankan manusia hidup atas cara yang lebih bijaksana dan lebih sempurna dalam dunia yang adalah dunianya.[7] Dalam konteks ini, agama mendapat tempat dan peranan penting. Agama dimengerti sebagai unsur integral dari budaya, terutama karena mengajarkan bagaimana hidup dengan baik, hidup dengan bijaksana dan nilai-nilai universal lainnya. Dalam agama terkandung ajaran-ajaran kebijaksanaan (dalam arti tertentu filsafat dipahami sebagai kebijaksanaan) yang dapat mengarahkan manusia kepada hidup yang lebih baik. Dengan demikian, hidup yang lebih baik dalam perspektif filsafat budaya adalah pembentukan kebijaksanaan secara internal dalam diri manusia melalui ajaran-ajaran agama.
Manusia tidak dapat dilepaskan dari agama dalam kehidupannya. Maksudnya adalah bahwa agama menjadi sarana di mana manusia dapat memenuhi keinginannya untuk dapat hidup dengan lebih bijaksana. Dengan kata lain agama membantu manusia untuk dapat hidup lebih baik. Melalui agama manusia dapat menjadi bijaksana untuk mencapai realisasi dirinya yang lengkap sehingga menjadi suatu microcosmos yang sempurna dalam macrocosmos.[8]
Setiap agama umumnya mengajarkan kepada para penganut atau pengikutnnya untuk hidup sebagai orang yang saleh, baik di hadapan manusia maupun di hadapan yang ilahi. Dengan demikian agama dapat mengarahkan manusia kepada hidup yang lebih baik. Agama membentuk manusia untuk menjadi lebih baik, lebih bijaksana dengan menanamkan nilai-nilai universal dalam diri manusia itu.
Penutup
Filsafat budaya sebagai ilmu tentang kehidupan manusia dapat dimengerti secara lebih sempit dengan ide pembentukan manusia yang lebih baik. Dalam konteks atau kerangka pemikiran itu kelompok berusaha menjelaskan dengan mengungkapkan tiga unsur yang membentuk manusia menjadi lebih baik. Ketiga unsur tersebut antara lain: (1) pengetahuan manusia tentang diri dan dunianya, (2) relasi manusia dalam kehidupan polis atau hidup sosial, dan (3) agama yang mengandung dan mengajarkan nilai-nilai universal yang dapat mengarahkan dan membentuk manusia menjadi lebih baik.
Untuk unsur pertama dan kedua merupakan karakter konstitutif dari arti budaya untuk orang Yunani, yaitu penelitian dan realisasi yang manusia lakukan tentang dirinya sendiri, yakni tentang kodrat manusia yang benar. Pengetahuan manusia tentang dirinya dan dunianya sangat erat hubungannya dengan filsafat. Manusia tidak dapat mewujudkan diri tanpa melalui pengetahuan akan diri sendiri dan akan dunianya. Sementara relasi manusia dalam kehidupan sosial atau kehidupan polis sangat erat hubungannya dengan kehidupan bermasyarakat. Manusia tidak dapat mewujudkan diri tanpa kehidupan dalam komunitas atau kehidupan polis.
Dan unsur ketiga dijelaskan dalam hubungan dengan diangkat kembali pengertian budaya sebagai pembentukan manusia dalam dunianya yang memperkenankan manusia hidup atas cara yang lebih baik (lebih bijaksana dan kritis) dalam dunianya. Pengertian ini diangkat kembali oleh renesans. Agama dimengerti sebagai unsur integral dari budaya dalam konteks ini. Karena agama mengandung mengajarkan hal-hal yang berkaitan dengan moralitas, yang dapat mengarahkan dan membentuk manusia menjadi lebih baik.
Saturday, August 3, 2013
SUBUD
.
. bahwa untuk mendapatkan jalan kontak dengan Hidup Besar itu tak ada
lain hanya manusia itu perlu menyerah dengan ichlas yang sesungguh 2nya
,yang tidak hnya dalam kata2 saja tapi harus bisa menembus keseluruh
Rasa Dirinya sehingga benar2 terasa bahwa tidak ada sesuatu lain yg bisa
dipercaya dan diper Tuhan kan selain Tuhan Yang Maha Esa . . .
Subscribe to:
Posts (Atom)