Ke“cerdas”an “spiritual” adalah ke“cerdas”an tertinggi yang dapat diraih oleh manusia. Ke“cerdas”an “spiritual” memungkinkan manusia menjadi kreatif, mengubah aturan dan situasi. Ke“cerdas”an “spiritual” memungkinkan kita untuk bermain dengan batasan, menjalankan permainan tak terbatas. Ke“cerdas”an “spiritual” juga memberi kita kemampuan membedakan. Ke“cerdas”an “spiritual” memberi
kita moralitas, kemampuan menyesuaikan aturan yang baku dengan
pemahaman dan cinta serta kemampuan setara untuk melihat kapan cinta dan
pemahaman sampai pada batasannya. Ke“cerdas”an “spiritual” dapat menangkap pesan dan hakikat baik dan jahat. Ke“cerdas”an “spiritual”
pun mampu membayangkan suatu kemungkinan yang belum terwujud — untuk
bermimpi, bercita-cita, dan mengangkat diri dari kerendahan. Ke“cerdas”an “spiritual” merupakan
kemampuan internal bawaan otak dan jiwa manusia, dengan sumber
terdalamnya terletak pada inti alam semesta, sejarah dan kedalaman jiwa
kita. Menurut Zohar dan Marshall, ke“cerdas”an “spiritual”
adalah fasilitas yang berkembang selama jutaan tahun, yang memungkinkan
otak untuk menemukan dan menggunakan makna dalam memecahkan persoalan.
Dalam tradisi Islam, salah satu jalan untuk hidup “cerdas spiritual” adalah tasawuf.
Muhamad Wahyuni Nafis, dalam bukunya ‘9 Jalan untuk “Cerdas Emosi” dan “Cerdas Spiritual”, membahas tentang ‘Sembilan Jalan untuk “Cerdas Emosi” dan “Cerdas Spiritual”. Dia membaginya menjadi ‘Tiga Jalan':
1. Tiga Jalan Pertama: Sabar , syukur dan tawaduk.
2. Tiga Jalan Kedua: Baik sangka, amanah dan silaturahim.
3. Tiga Jalan Ketiga: Tawakal, ikhlas dan taqwa.
1. Sabar.
Sabar adalah mengekang kendali diri dan menahan pelampiasan amarah
yang mengakibatkan kekecewaan dan kegelisahan. Orang yang sabar sangat
sadar bahwa pelampiasan amarah dapat mendatangkan bencana. Penyabar,
tidak mudah mengeluh, tidak suka mengadu dan tidak senang menyalahkan
orang lain. Penyabar akan mendasarkan respons dan kegiatannya pada
prinsip hidup yang benar, yaitu prinsip hidup yang menguntungkan semua
pihak, membebaskan dan membahagiakan. Tidak akan mudah dipengaruhi oleh
hal-hal eksternal. Tidak akan: ‘senang tiada kepalang kala mendapat
pujian dan pusing tujuh keliling kala mendapat kritikan’.
2. Syukur.
Perilaku syukur dapat dimulai dengan sikap menerima keadaan apa
adanya. Apabila mendapat keadaan yang tidak sesuai dengan keyakinan dan
aturan yang berlaku, orang berkarakter syukur akan menghindar dan
menolaknya dengan tenang serta tidak akan terpengaruh oleh keadaan buruk
tersebut. Pemilik karakter syukur dapat menerima sekaligus memanfaatkan
sesuatu yang disukai ketika memperolehnya. Ia juga sanggup menerima
sesuatu yang ada dan yang tiada. Berkaitan dengan kecakapan, pemilik
karakter syukur sangat maksimal menggunakan kecakapannya. Ia sangat
maksimal memfungsikan berbagai komponen yang dimilikinya untuk meraih
kehidupan yang lebih baik, lebih sukses dan lebih bahagia.
3. Tawaduk.
Tawaduk adalah perwujudan tiadanya sikap takabur. Para pemilik
karakter tawaduk, tenang, penuh wibawa, rendah hati, tidak jahat, tidak
congkak dan tidak sombong. Mereka adalah orang-orang yang berilmu dan
bersikap lemah lembut. Mereka selalu menjaga kehormatan diri dan tidak
berlaku bodoh. Orang berkarakter tawaduk selalu memperhatikan kedudukan
orang lain dan tidak berlaku arogan. Mereka juga mempunyai karakter
sederhana serta bebas dari sikap lalai dan berlebihan. Oleh sebab itu
sikap tawaduk membuat pemiliknya disenangi sekaligus dikagumi orang
lain. Tuhan juga mewajibkan Rasulullah SAW untuk bertawaduk kepada orang
di sekitarnya sebagaimana firman Allah dalam Surat Asy-Syu’ara ayat
215. Hadits Riwayat Muslim juga menjelaskan, bahwa Rasulullah SAW
bersabda: ‘Sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku agar kalian
bertawaduk, sehingga tidak ada satupun yang terhina dan tidak satupun
yang tersakiti’.
4. Baik Sangka (Positive Thinking).
Sikap dan perilaku ini sangat dianjurkan oleh Islam karena merupakan
konsekwensi logis yang niscaya dari ajaran bahwa semua manusia pada
dasarnya adalah baik. Manusia diciptakan oleh Allah SWT dan dilahirkan
dalam keadaan fitah (suci). Jadi manusia pada dasarnya cenderung kepada
kebenaran dan kebaikan. Hindarilah banyak berprasangka, karena sebagian
prasangka adalah dosa. Juga janganlah saling memata-matai dan jangan
saling menggunjing. Karakter baik sangka sangat erat kaitannya dengan
sikap menjauhi perbuatan mengejek, mencela, mengolok-olok, merendahkan
dan memberi sebutan buruk kepada orang lain.
5. Amanah.
Amanah merupakan salah satu konsekwensi iman, yaitu sifat dapat
dipercaya. Amanah sebagai budi luhur adalah lawan khianat yang amat
tercela. Amanah adalah sikap dan perilaku teguh dan konsisten terhadap
peraturan, kesepakatan dan tuntutan alami. Karena itu, amanah sangat
terkait erat dengan perilaku adil dan jujur. Amanah juga berarti
integritas, yakni adanya kesatuan antara teori dan praktik, antara
pengetahuan dan pengamalan.
6. Silaturahim.
Silaturahim adalah pertalian cinta kasih sesama manusia, khususnya
antara saudara, kerabat, handai-taulan, tetangga dan seterusnya. Manusia
wajib mencintai sesamanya agar Allah juga mencintainya: “Kasihilah
orang-orang di bumi, niscaya Dia (Tuhan) yang di langit akan
mengasihimu.” Pengamal silaturahim akan menyapa orang lain dengan penuh
makna dan kasih sayang, memenuhi undangan teman dan tetangga apabila
tidak ada halangan yang berarti, serta menengok dan mendo’akan saudara
dan teman yang mendapat musibah. Jalinan kasih sayang ini tentunya
berlaku lintas keyakinan dan agama. Al-Qur’an telah menegaskan bahwa
Rasulullah SAW, meskipun sangat tegas terhadap para penganut agama lain,
tetap membina jalinan penuh kasih sayang dalam hubungan sosial dengan
mereka, sebagaimana difirmankan dalam Surat Al-Fath ayat 29.
7. Tawakal.
Tawakal (kepada Allah) berarti memasrahkan segala sesuatu kepada
kehendak Allah SWT. Sikap dan perilaku tawakal merupakan pekerjaan hati –
lebih dalam. Tawakal merupakan amal hati. Karena itu, tawakal bukan
dinyatakan dengan ucapan lisan dan perbuatan anggota tubuh. Karakter
tawakal menuntut upaya yang memadai sebelum menyerahkan sepenuhnya
kepada Allah SWT. Tawakal merupakan sikap penyerahan diri secara total
kepada kebenaran. Namun, penyerahan diri total gtersebut tetap menuntut
dukungan berupa upaya-upaya memadai. Pemilik karakter “spiritual”
tawakal secara individual sudah tidak mempunyai masalah dalam hal
kecakapan. Hidupnya selaras dengan alam, yakni berpedoman pada prinsip
yang alami.
8. Ikhlas.
Ikhlas adalah sikap tulus karena Allah SWT, sikap tulus karena
keyakinan yang benar, baik dan bermaslahat. Dalam Islam, sikap ikhlas
menjadi ruh seluruh ibadah baik ukhrawi maupun duniawi. Karakter “spiritual” ikhlas
yang benar tentu saja harus didasarkan pada pengetahuan dan pemikiran
yang benar. Jika tidak — tindakan ikhlas justru akan dapat mengakibatkan
bencana. Misalnya, ada orang ikhlas menolong orang lain yang tenggelam,
namun ia sendiri tidak dapat berenang. Apabila ia menolong dengan cara
langsung terjun, itu sama saja dengan bunuh diri. Karakter “spiritual” ikhlas
berkekuatan menolak kejahatan sekaligus mampu memalingkan seseorang
dari kemungkaran.Keikhlasan juga menuntut konsistensi, jangan
setengah-setengah atau sepotong-sepotong. Orang ikhlas memberi makna
pada pelayanan bagi sesama.Pemilik karakter “spiritual”
ikhlas akan dengan sendirinya menjalankan berbagai kegiatan yang telah
dipikirkan secara matang dengan bersandar sepenuhnya kepada Allah SWT.
Melayani, menolong dan membantu orang lain merupakan bagian tak
terpisahkan dari karakter “spiritual” ikhlas. Ciri lain karakter “spiritual” ikhlas adalah hilangnya rasa iri hati, dengki dan dendam kepada orang lain.
9. Taqwa.
Taqwa
mengandung arti tuntutan untuk menjaga diri. Orang yang bertaqwa
berarti orang yang mampu menjaga diri. Sebagaimana dijelaskan dalam
firman Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 2 – 5, bahwa orang yang
bertaqwa beriman kepada yang gaib, mendirikan salat menafkahkan sebagian
rezeki yang Allah berikan, mengimani wahyu Allah yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW, dan para nabi sebelumnya, serta meyakini adanya Hari
Akhir. Mereka itulah yang mendapat petunjuk Tuhan dan sukses. Dalam
Surat Al-Baqarah ayat 177, juga dijelaskan bahwa orang-orang yang
bertaqwa adalah mereka yang beriman kepada Allah SWT, Hari Kiamat, para
malaikat, kitab-kitab suci dan para nabi, menginfakkan harta karena
Allah SWT kepada para kerabat, anak yatim, fakir miskin, orang dalam
perjalanan, peminta-minta dan budak, mendirikan salat dan membayar
zakat, memenuhi janji serta sabar dalam keadaan menderita, sengsara dan
suasana kacau sekalipun.Dalam ayat-ayat lain juga menegaskan bahwa orang-orang bertaqwa akan sukses dan berhasil serta memperoleh rahmat dari Allah SWT.
Golongan manapun, termasuk penganut agama apa pun, dapat menjalani jalan untuk “cerdas emosi” dan “spiritual” di ata
No comments:
Post a Comment