Wednesday, August 27, 2014

Bebas dari Rasa-diri?

Bebas dari Rasa-diri?

Terbebas dari ‘rasa-diri’ adalah  
tiba-tiba menyadari bahwa
Anda bukanlah seperti yang  
Anda sangka selama ini.
Sebelumnya Anda menyangka kalau  
Anda adalah pusat;
tapi sekarang Anda merasakan kalau  
diri Anda hanyalah satelit.
Sebelumnya Anda menyangka kalau  
Anda adalah penari;
sekarang Anda menyadari kalau  
Andalah tarian itu. 

~ Anthony de Mello. 

Bagi kita, tabir demarkasi yang jelas antara diri dengan yang bukan-diri, antara yang di dalam dan yang di luar, adalah tubuh ini. Tanpa adanya tubuh, otomatis demarkasi itu sirna, secara fisikal-objektif; namun apakah ia juga sirna secara mental-subjektif?

Tidur dan bermimpi, salahsatu bukti kalau, kendati tubuh ini berikut segenap oragan-oragan indria motorik dan sensoriknya tidak aktif, rasa-diri masih tetap ada. Didalam mimpi, jelas dirasakan kalau ada ‘diriku’ —yang bertindak sebagai subjek yang bermimpi— dan yang ‘bukan diriku’. Bedanya, kalau sebelumnya ia bersifat kasat-indria, maka sekarang tidak lagi; sekarang ia lebih bersifat kasat-rasa.

‘Yang merasa-ada’ —yang juga merasa merasakan dan mengetahui, atau merasa mengalami— masih tetap merasa terpisah dengan yang di luarnya, yang dianggapnya sebagai bukan-dia. Kenapa? Karena rasa itulah yang telah ia biasakan seumur-hidup, rasa itulah rasa-diri satu-satunya yang ia kenal.

Kendati tubuh ini telah dikremasi sekalipun, rasa-diri masih tetap bekerja. Bedanya, kalau semasih berjasad-kasar rasa-diri masih dirujukkan dengan tegas pada jasad ini —yang lebih merupakan fenomena neurologis yang tersublimasi menjadi fenomena mental-psikologis maka ketika tidak berjasad lagi, kesan-kesan mental yang timbul wakru masih berjasad itulah sekarang membentuk rasa-diri.

Kecuali dapat dipastikan bahwa, dengan musnahnya jasad berikut segenap perangkat dan fenomena neurologisnya musnah pula kesan-kesan yang terbentuk di tataran mental-psikologis, maka rasa-diri boleh jadi juga sirna.
 
Bisa dirasakan langsung kalau rasa-diri tidak bisa dipisahkan dengan kesan-kesan mental yang terbentuk. Ia tidak berdiri sendiri, tidak independen; walaupun cenderung ingin dan merasa demikian. Sesuatu yang lahir dari proses sintesa, yang bersifat sintetis, hanya mungkin mengada selama penyebab-penyebab yang memungkinkan berlangsungnya proses itu ada dan bekerja. Itulah yang mengkondisikan keberadaannya. Oleh karenanyalah, rasa-diri selamanya terkondisi. Dimana kita tahu kalau yang terkondisi, tidak bisa bebas. Tidak mungkin bebas. Apa artinya ini?

Ini berarti, semasih ada rasa-diri —yang bertindak sebagai subjek yang mengalami dan menikmati itu— selama itu pula seseorang sebetulnya tidak pernah bebas. Makanya, kebebasan yang dimaksudkan didalam ajaran kebebasan atau kemahardikan manapun, adalah kebebasan dari rasa-diri ini. Bahkan, tanpa adanya rasa-diri ini, tak ada sesuatupun yang perlu pembebasan. Makanya, yang tidak lagi ada di bawah cengkraman rasa-diri sebetulnya sudah bebas. ... sudah merdeka .... disini dan saat ini juga. Kendati masih mengenakan jasad seutuhnya.

Bali, 28 Oktober 2005.
__________________
Baca juga: “Dari Rasa-diri hingga Universalisme” dan “Rasa-ada bukanlah Rasa-diri”. Edisi sebelumnya bisa dibuka di: http://groups.yahoo.com/group/BeCeKa/message/22418.

No comments:

Post a Comment