Wednesday, January 23, 2019
Syeh Siti Jenar tidak di eksekusi mati
Bantuan Aksesibilitas
Tekan alt + / untuk membuka menu ini
Facebook
Iman
Beranda
Buat
1
Permintaan Pertemanan
Pesan
7
Notifikasi
Pengaturan Akun
Ternyata Syekh Siti Jenar Tidak Dieksekusi Wali Songo
21 November 2013 pukul 15.52
7 Versi Kematian Syekh Siti Jenar
Mendiskusikan tentang wafatnya Syekh Siti Jenar memang cukupmenarik. Sebagaimana banyaknya versi yang menjelaskan tentang asal-usul dansosol Syekh Siti Jenar, maka demikian pula halnya tentang varian versi yangmenerangkan tentang proses kematiannya. Secara umum kesamaan yang diperlihatkanoleh berbagai literatur seputar kematian Syekh Siti Jenar hanyalah yangberkaitan dengan masanya saja, yakni pada masa kerajaan Islam Demak di bawahpemerintahan Raden Fatah sekitar akhir abad XV dan awal abad XVI. Tentu hal inijuga masih mengecualikan sebagian kisah versi Cirebon, yang menyebutkan bahwawafatnya Syekh Siti Jenar terjadi pada masa Sultan Trenggono. Sedangkan yangberkaitan dengan proses kematiannya, berbagai sumber yang ada memberikanpenjelasan yang berbeda-beda. Sampai saat ini, paling tidak terdapat beberapaasumsi (tujuh versi) mengenai proses meninggalnya Syekh Siti Jenar.
VersiPertama
Bahwa Syekh Siti Jenar wafat karena dihukum mati oleh SultanDemak, Raden Fatah atas persetujuan Dewan Wali Songo yang dipimpin oleh SunanBonang. Sebagai algojo pelaksana hukuman pancung adalah Sunan Kalijaga, yangdilaksanakan di alun-alun kesultanan Demak. Sebagian versi ini mengacu pada “Serat Syeikh Siti Jenar” oleh Ki Sosrowidjojo.
VersiKedua
Syekh Siti Jenar dijatuhi hukuman mati oleh Sunan Gunung Jati.Pelaksana hukuman (algojo) adalah oSunan Gunung Jati sendiri, yangpelaksanaannya di Masjid Ciptarasa Cirebon. Mayat Syekh Siti Jenar dimandikanoleh Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Kudus, dan Sunan Giri, kemudiandimakamkan di Graksan, yang kemudian disebut sebagai Pasarean Kemlaten. Hal ini tercantum dalam Wawacan Sunan Gunung Jati Pupuh ke-39 terbitan Emon Suryaatmana danT.D Sudjana (alin bahasa pada tahun 1994).
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Sudirman Tebba (2000: 41), SyekhSiti Jenar dipenggal lehernya oleh Sunan Kalijaga. Pada awalnya mengucur dararberwarna merah, kemudian berubah menjadi putih. Syekh Siti Jenar kemudianberkata: “Tidak ada Tuhan selain Allah danMuhammad adalah utusan-Nya”. Kemudian tubuh Syekh Siti Jenar naik ke surgaseiring dengan kata-kata: ”Jika adaseorang manusia yang percaya kepada kesatuan selain dari Allah Yang Mahakuasa, diaakan kecewa, karena dia tidak akan memperoleh apa yang dia inginkan”.
Untuk kisah yang terdapat dalam versi pertama dan kedua masihmemiliki kelanjutan yang hampir sama.
Sebagaimana dikemukakan dalam Suluk Syekh Siti Jenar, disebutkan bahwa setelah Syekh Siti Jenarmeninggal di Krendhawasa tahun Nirjamna Catur Tunggal (1480 M. Tahun yang tentusaja masih terlalu dini untuk kematian Syekh Siti Jenar), jenazahnya dibawa keMasjid Demak, karena saat itu magrib tiba, maka pemakaman dilakukan esokpaginya agar bisa disaksikan oleh raja. Para ulama sepakat untuk menjagajenazah Syekh Siti Jenar sambil melafalkan pujian-pujian kepada Tuhan. Ketikawaktu shalat tiba, para santri berdatangan ke masjid. Pada saat itu tiba-tibatercium bau yang sangat harum, seperti bau bunga Kasturi. Selesai shalat parasantri diperintahkan untuk meninggalkan masjid. Tinggal para ulama saja yangtetap berada di dalamnya untuk menjaga jenazah Syekh Siti Jenar.
Bau harum terus menyengat, oleh karena itu Syekh Malaya mengajakulama lainnya untuk membuka peti jenazah Syekh Siti Jenar. Tatkala peti ituterbuka, jenazah Syekh Siti Jenar memancarkan cahaya yang sangat indah, lalumuncul warna pelangi memenuhi ruangan masjid. Sedangkan dari bawah petimemancarkan sinar yang amat terang, bagaikan siang hari.
Dengan gugup, para ulama mendudukkan jenazah itu, lalu bersembahsujud sambil menciumi tubuh tanpa nyawa itu bergantian hingga ujung jari. Kemudianjenazah itu kembali dimasukkan ke dalam peti, Syekh Malaya terlihat tidakberkenan atas tindakan rekan-rekannya itu.
Dalam Suluk Syekh SitiJenar dan Suluk Walisanga dikisahkanbahwa para ulama telah berbuat curang. Jenazah Syekh Siti Jenar diganti denganbangkai anjing kudisan. Jenazah itu dimakamkan mereka di tempat yangdirahasiakan. Peti jenazah diisi dengan bangkai anjing kudisan. Bangkai itu dipertontonkankeesokan harinya kepada masyarakat untuk mengisyaratkan bahwa ajaran Syekh SitiJenar adalah sesat.
Digantinya jenazah Syekh Siti Jenar dengan bangkai anjing initernyata diketahui oleh salah seorang muridnya bernama Ki Luntang. Dia datangke Demak untuk menuntut balas. Maka terjadilah perdebatan sengit antara KiLuntang dengan para Wali yang berakhir dengan kematiannya. Sebelum diamengambil kematiannya, dia menyindir kelicikan para Wali dengan mengatakan(Sofwan, 2000: 221):
“...luhta payo totonen derengsun manthuk, yen wus mulih salinen, bangke sakarepmudadi. Khadal, kodok, rase, luwak, kucing kuwuk kang gampang lehmu sandi, upayasadhela entuk, wangsul sinantun gajah, sun pastheake sira nora bisa luruh rehtanah jawa tan ana...”
...nah silahkan lihat diriku yang hendak menjemput kematian.Jika nanti aku telah mati, kau boleh mengganti jasadku sekehendakmu, kadal,kodok, rase, luwak atau kucing tua yang mudah kau peroleh. Tapi, jika hendakmengganti dengan gajah, kau pasti tidak akan bisa karena di tanah Jawa tidakada...”
Seperti halnya sang guru, Ki Luntang pun mati atas kehendaknyasendiri, berkonsentrasi untuk menutup jalan hidup menuju pintu kematian.
VersiKetiga
Bahwa Syekh Siti Jenar meninggal karena dijatuhi hukuman matioleh Sunan Giri, dan algojo pelaksana hukuman mati tersebut adalah Sunan GunungJati. Sebagian riwayat menyebutkan bahwa vonis yang diberikan Sunan Giri atasusulan Sunan Kalijaga (Hasyim, 1987: 47).
Dikisahkan bahwa Syekh Siti Jenar mempunyai sebuah pesantrenyang banyak muridnya. Namun sayang, ajaran-ajarannya dipandang sesat dan keluardari ajaran Islam. Ia mengajarkan tentang keselarasan antara Tuhan, manusia danalam (Hariwijaya, 2006: 41-42).
Hubungan manusia dengan Tuhannya diungkapkan dengan “Manunggaling kawula-gusti” dan “Curiga Manjing Warangka”. Hubunganmanusia dengan alam diungkapkan dengan “MengasahMingising Budi, Memasuh Malaning Bumi”, dan “Hamemayu Hayuning Bawana”, yang bermuara pada pembentukan “Jalma Sulaksana”, “Al-insan Al-kamil”, “SariraBathara”, “Manusia Paripurna”, “Adi Manusia” yang imbang lahir batin, jiwa-raga,intelektual spiritual, dan kepala dadanya.
Konsep manunggaling kawula gusti oleh Syekh Siti Jenar disebutdengan “uninong aning unong”, saatsepi senyap, hening, dan kosong. Sesungguhnya Zat Tuhan dan zat manusia adalahsatu, manusia ada dalam Tuhan dan Tuhan ada dalam manusia.
Sunan Giri sebagai ketua persidangan, setelah mendengarpenjelasan dari berbagai pihak dan bermusyawarah dengan para Wali, memutuskanbahwa ajaran Syekh Siti Jenar itu sesat. Ajarannya bisa merusak moralmasyarakat yang baru saja mengenal Islam. Karenanya Syekh Siti Jenar dijatuhihukuman mati.
Syekh Siti Jenar masih diberi kesempatan selama setahun untukmemperbaiki kesalahannya sekaligus menanti berdirinya Negara Demak secaraformal, karena yang berhak menentukan hukuman adalah pihak negara (Widjisaksono, 1995: 61). Kalau sampai waktu yang ditentukan ia tidak mengubahpendiriannya, maka hukuman tersebut akan dilaksanakan.
Sejak saat itu, pesantren Syekh Siti Jenar ditutup danmurid-muridnya pun bubar, menyembunyikan diri dan sebagian masih mengajarkanajaran wahdatul wujud meskipun secarasembunyi-sembunyi. Setelah satu tahun berlalu, Syekh Siti Jenar ternyata tidakberbubah pendiriannya. Maka dengan terpaksa Sunan Gunung Jati melaksanakaneksekusi yang telah disepakati dulu. Jenazah Syekh Siti Jenar dimakamkan dilingkungan keraton agar orang-orang tidak memujinya.
VersiKeempat
Syekh Siti Jenar wafat karena vonis hukuman mati yang dijatuhiSunan Giri sendiri. Peristiwa kematian Syekh Siti Jenar versi ini sebagaimana yangdikisahkan dalam Babad Demak. Menurutbabad ini Syekh Siti Jenar meninggal bukan karena kemauannya sendiri, dengankesaktiannya dia dapat menemui ajalnya, tetapi dia dibunuh oleh Sunan Giri. Kerisditusukkan hingga tembus ke punggung dan mengucurkan darah berwarna kuning.Setelah mengetahui bahwa suaminya dibunuh, istri Syekh Siti Jenar menuntut belakematian itu kepada Sunan Giri. Sunan Giri menghiburnya dengan mengatakan bahwadia bukan yang membunuh Syekh Siti Jenar tetapi dia mati atas kemauannyasendiri. Diberitahukan juga bahwa suaminya kini berada di dalam surga. SunanGiri meminta dia melihat ke atas dan di sana dia melihat suaminya berada disurga dikelilingi bidadari yang agung, duduk di singgasana yang berkilauan(Sofwan, 2000: 218).
Kematian Syekh Siti Jenar dalam versi ini juga dikemukakan dalamBabad Tanah Jawa yang disandur olehS. Santoso, dengan versi yang sedikit memiliki perbedaan. Dalam babad inidisebutkan Syekh Siti Jenar terbang ke surga, tetapi badannya kembali kemasjid. Para ulama takjub karena dia dapat terbang ke surga, namun kemudianmarah karena badannya kembali ke masjid. Melihat hal yang demikian, Sunan Girikemudian mengatakan bahwa tubuhnya harum ditikam dengan sebuah pedang, kemudiandibakar. Syekh Maulana kemudian mengambil pedang dan menikamkannya ke tubuhSyekh Siti Jenar, tetapi tidak mempan. Syekh Maulana bertambah marah danmenuduh Syekh Siti Jenar berbohong atas pernyataannya yang menegaskan bahwa diarela mati.
Syekh Siti Jenar menerima banyak tikaman dari Syekh Maulana,tetapi dia terus berdiri. Syekh Maulana kian gusar dan berkata, “Itu luka orang jahat, terluka tapi tidakberdarah”. Dari luka-luka Syekh Siti Jenar itu seketika keluar darah berwarnamerah. Seketika Syekh Maulana berkata lagi, ”Itu luka orang biasa, bukan kawula gusti, karena darah yang keluarberwarna merah”. Dari merah yang mengucur itu seketika berubah berwarnaputih. Syekh Maulana berkata lagi. “Iniseperti kematian pohon kayu, keluar getah dari lukanya. Kalau ‘insan kamil’betul tentu dapat masuk surga dengan badan jasmaninya, berarti kawula gustitidak terpisah”. Dalam sekejap mata tubuh Syekh Siti Jenar hilang dandarahnya sirna.
Syekh Maulana kemudian membuat muslihat dengan membunuh seekoranjing, membungkusnya dengan kail putih dan mengumumkan kepada masyarakat bahwamayat Syekh Siti Jenar telah berubah menjadi seekor anjing disebabkan ajarannyayang bertentangan dengan syariat. Anjing itu kemudian di bakar.
Beberapa waktu setelah peristiwa itu, para ulama didatangi olehseorang penggembala kambing yang mengaku sebagai murid Syekh Siti Jenar. Diaberkata, ”Saya dengar para Wali telahmembunuh guru saya, Syekh Siti Jenar. Kalau memang demikian, lebih baik sayajuga Tuan-tuan bunuh. Sebab saya ini juga Allah, Allah yang menggembalakankambing”. Mendengar penuturannya itu kemudian Syekh Maulana membunuhnyadengan pedang yang sama dengan yang digunakan untuk membunuh Syekh Siti Jenar.Seketika tubuh mayat penggembala kambing itu lenyap. (Tebba, 2003: 43).
VersiKelima
Bahwa vonis hukuman mati dijatuhkan oleh Sunan Gunung Jati,sedangkan yang menjalankan eksekusi kematian (algojo) adalah Sunan Kudus. Versitentang proses kematian Syekh Siti Jenar ini dapat ditemukan dalam Serat Negara Kertabumi yang disuntingoleh Rahman Selendraningrat. Tentu bahwa kisah eksekusi terhadap Syekh Sitijenar yang terdapat dalam versi ini berbeda dari yang lainnya. Nampaknya kisahini bercampur aduk dengan kisah eksekusi Ki Ageng Pengging yang dilakukan olehSunan Kudus.
Kisah kematian Syekh Siti Jenar dalam sastra “kacirebonan” inidiawali dengan memperlihatkan posisi para pengikut Syekh Siti Jenar di Cirebonsebagai kelompok oposisi atas kekuatan Kesultanan Cirebon. Sejumlah tokohpengkutnya pernah berusaha untuk menduduki tahta, tetapi semuanya menemuikegagalan. Tatkala Pengging dilumpuhkan, Syekh Siti Jenar yang pada saat itumenyebarkan agama di sana, kembali ke Cirebon diikuti oleh para muridnya dariPengging. Di Cirebon, kekuatan Syekh Siti Jenar menjadi semakin kokoh, pengikutnyameluas hingga ke desa-desa. Serelah Syekh Datuk Kahfi meninggal dunia, SultanCirebon menunjuk Pangeran Punjungan untuk menjadi guru agama Islam di PadepokanAmparan Jati.
Pangeran Punjungan bersedia menjalankan tugas yang diembankansultan kepadanya, namun dia tidak mendapatkan murid di sana karena orang-orangtelah menjadi murid Syekh Siti Jenar. Bahkan panglima bala tentara Cirebonbernama Pangeran Carbon lebih memilih untuk menjadi muridnya Syekh Siti Jenar.Dijaga oleh muridnya yang banyak, Syekh Siti Jenar merasa aman tinggal diCirebon Girang.
Keberadaan Syekh Siti Jenar di Cirebon terdengar oleh SultanDemak. Sultan kemudian mengutus Sunan Kudus disertai 700 orang prajurit keCirebon. Sultan Cirebon menerima permintaan Sultan Demak dengan tulus, bahkanmemberi bantuan untuk tujuan itu.
Langkah pertama yang diambil Sultan Cirebon adalah mengumpulkanpara murid Syekh Siti Jenar yang ternama, antara lain Pangeran Carbon, paraKyai Geng, Ki Palumba, Dipati Cangkuang dan banyak orang lain di istanaPangkuangwati. Selanjutnya bala tentara Cirebon dan Demak menuju padepokanSyekh Siti Jenar di Cirebon Girang. Syekh Siti Jenar kemudian di bawa ke masjidAgung Cirebon, tempat para Wali telah berkumpul.
Dalam persidangan itu, yang bertindak sebagai hakim ketuanadalah Sunan Gunung Jati. Melalui perdebatan yang panjang, pengadilanmemutuskan Syekh Siti Jenar harus dihukum mati. Kemudian Sunan Kudusmelaksanakan eksekusi itu menggunakan keris pusaka Sunan Gunung Jati. Peristiwaitu terjadi pada bulan Safar 923 H atau 1506 (Sofwan, 2000: 222).
Pada peristiwa selanjutnya, mulai diperlihatkan kecurangan yangdilakukan oleh para ulama di Cirebon terhadap keberadaan jenazah Syekh SitiJenar. Dikisahkan, setelah eksekusi dilaksanakan, jenazah Syekh Siti Jenardimakamkan di suatu tempat yang kemudian banyak diziarahi orang. Untukmengamankan keadaan, Sunan Gunung Jati memerintahkan secara diam-diam agarmayat Syekh Siti Jenar dipindahkan ke tempat yang dirahasiakan, sedangk di kuburanyang sering dikunjungi orang itu dimasukkan bangkai anjing hitam.
Ketika para perziarah menginginkan agar mayat Syekh Siti Jenardipindahkan ke Jawa Timur, kuburan di buka dan ternyata yang tergeletak didalamnya bukan mayat Syekh Siti Jenar melainkan bangkai seekor anjing. Parapeziarah terkejut dan tak bisa mengerti keadaan itu. Ketika itu Sultan Cirebonmemanfaatkan situasi dengan mengeluarkan fatwa agar orang-orang tidakmenziarahi bangkai anjing dan agar meninggalkan ajaran-ajaran Syekh Siti Jenar(Sulendraningrat, 1983: 28).
VersiKeenam
Bahwa Syekh Siti Jenar dijatuhi hukuman mati oleh Wali Songo. Padasaatu hukuman harus dilaksanakan, para anggota Wali Songo mendatangi Syekh SitiJenar untuk melaksanakan hukuman mati. Akan tetapi kemudian para anggota WaliSongo tidak jadi melaksanakan hukuman tersebut, karena Syekh Siti Jenar justrumemilih cara kematiannya sendiri, dengan memohon kepada Allah agar diwafatkantanpa harus dihukum oleh pihak Sultan dan para Sanan, sekaligus Syekh SitiJenar menempuh jalan kematiannya sendiri, yang sudah ditetapkan oleh Allah. Versiini mengacu pada Serat Seh Siti Jenar yangdigubah oleh Ki Sosrowidjojo, yang kemudian disebarluaskan kembali ileh AbdulMunir Mulkan (t.t).
Sofwan (2000: 215-217) mengutip Suluk Walingsanga (sebagaimana juga yang terdapat dalam Serat Seh Siti Jenar dalam berbagaiversi) yang di dalamnya terdapat cerita yang mengisahkan bahwa kematian SyekhSiti Jenar berawal dari perdebatan yang terjadi antara Syekh Siti Jenar dengandua orang utusan Sultan Demak, yakni Syekh Domba dan Pangeran Bayat sebagaiutusan Sultan Fatah dan Majelis Wali Songo. Dua orang utusan ini diperintahSultan atas persetujuan Majelis Wali Songo untuk mengadakan tukar pikiran(lebih tepatnya menginvestigasi) dengan Syekh Siti Jenar mengenai ajaran yangdia sampaikan kepada murid-muridnya.
Disinyalir bahwa ajaran yang telah disampaikan oleh Syekh SitiJenar menyebabkan terganggunya stabilitas keamanan dan ketertiban di wilayahDemak. Hal ini disebabkan ulah para muridnya yang berbuat kegaduhan, merampok, berkelahi,bahkan membunuh. Bila ada kejahatan atau keonaran, tentu murid Syekh Siti Jenaryang menjadi pelakunya. Ketika pengawal kerajaan menangkap mereka, maka merekabunuh diri di dalam penjara. Bila dikorek keterangan dari mereka, dengan angkuhmereka mengatakan bahwa mereka adalah murid Syekh Siti Jenar yang telah banyakmengenyam ilmu makrifat, dan selalu siap mati bertemu Tuhan.
Mereka beranggapan bahwa hidup sekedar menjalani mati, olehkarena itu mereka merasa jenuh menyaksikan bangkai bernyawa bertebaran diatasnya. Dunia ini hanya dipenuhi oleh mayat, maka mereka lebih memilihmeninggalkan dunia ini. Mereka juga mengejek, mengapa orang mati diajarishalat, menyembah dan mengagungkan nama-Nya, padahal di dunia ini orang tidakpernah melihat Tuhan.
Berkenaan dengan pemahaman yang demikian ini, maka Syekh Dombadan Pangeran Bayat diutus oleh Sultan Demak untuk menemui Syekh Siti Jenar.Dalam pertemuan itu terjadi perdebatan antara utusan Sultan dengan Syekh Siti Jenar.Dalam perdebatan itu, terlihat bahwa kemahiran Syekh Siti Jenar berada di atasSyekh Domba dan Pangeran Bayat. Pada akhirnya, Syekh Domba merasa kagum atasuraian dan kedalaman ilmu Syekh Siti Jenar, bahkan dia bisa menyetujuikebenarannya. Dia ingin menjadi muridnya secara tulus, kalau saja tidak dicegaholeh Pangeran Bayat.
Selanjutnya, kedua utusan itu kembali ke Demak melaporkan apayang telah mereka saksikan tentang ajaran Syekh Siti Jenar. Setelah berundingdengan Majelis Wali Songo, Sultan kemudian mengutus lima orang Wali untukmemanggil Syekh Siti Jenar ke istana guna mempertanggungjawabkan ajarannya. Kelimautusan itu adalah Sunan Kalijaga, Sunan Ngudung, Pangeran Modang, Sunan Geseng,dan Sunan Bonang sebagai pemimpin utusan itu. Mereka diikuti oleh empat puluhorang santri lengkap dengan persenjataannya untuk memaksa Syekh Siti Jenardatang ke istana. Sesampainya di kediaman Syekh Siti Jenar, kelima Walitersebut terlibat perdebatan sengit. Perdebatan itu berakhir dengan ancamanSunan Kalijaga. Sekalipun mendapatkan ancaman dari Sunan Kalijaga, Syekh SitiJenar tetap tidak bersedia datang ke istana karena menurutnya Wali dan rajatidak berbeda dengan dirinya, sama-sama terbalut darah dan daging yang akanmenjadi bangkai. Lalu dia memilih mati. Mati bukan karena ancaman yang ada,tetapi karena kehendak diri sendiri. Syekh Siti Jenar kemudian berkonsentrasi,menutup jalan hidupnya dan kemudian meninggal dunia.
VersiKetujuh
Bahwa terdapat dua orang tokoh utama, yang memiliki nama asliyang berdekatan dengan nama kecil Syekh Siti Jenar, San Ali. Tokoh yang satuadalah Hasan Ali, nama Islam Pangeran Anggaraksa, anak Rsi Bungsi yang semulaberambisi menguasai Cirebon, namun kemudian terusir dari Keraton, karenakedurhakaan kepada Rsi Bungsi dan pemberontakannya kepada Cirebon. Ia menaruhdendang kepada Syekh Siti Jenar yang berhasil menjadi seorang guru suci utamadi Giri Amparan Jati. Tokoh yang satunya lagi adalah San Ali Anshar al-Isfahanidari Persia, yang semua merupakan teman seperguruan dengan Syekh Siti Jenar diBaghdad. Namun ia menyinpan dendang pribadi kepada Syekh Siti Jenar karenakalah dalam hal ilmu dan kerohanian.
Ketika usia Syekh siti Jenar sudah uzur, dua tokoh ini bekerjasama untuk berkeliling ke berbagai pelosok tanah Jawa, ke tempat-tempat yang penduduknya menyatakan diri sebagaipengikut Syekh Siti Jenar, padahal mereka belum pernah bertemu dengan SyekhSiti Jenar. Sehingga masyarakat tersebut kurang mengenal sosok asli Syekh SitiJenar. Pada tempat-tempat seperti itulah, dua tokoh pemalsu ajaran Syekh SitiJenar memainkan perannya, mengajarkan berbagai ajaran mistik, bahkan perdukunanyang menggeser ajaran tauhid Islam.
Hasan Ali mengaku dirinya sebagai Syekh Lemah Abang, dan San AliAnshar mengaku dirinya sebagai Syekh Siti Jenar. Hasan Ali beroperasi di Jawabagian Barat, sementara San Ali Anshar di Jawa Bagian Timur. Kedua orang inisebenarnya yang dihukum mati oleh anggota Wali Songo, karena sudah melancarkanberbagai fitnah keji terhadap Syekh Siti Jenar sebagai guru dan anggota WaliSongo.
Kemungkinan karena silang sengkarut kemiripan nama itulah, makadalam berbagai Serat dan babad di daerah Jawa, cerita tentang Syekh Siti Jenarmenjadi simpang siur. Namun pada aspek yang lain, ranah politik juga ikutmemberikan andil pendiskreditan nama Syekh Siti Jenar. Karena naiknya RadenFatah ke tampuk kekuasaan Kesultanan Demak, diwarnai dengan intrik perebutantahta kekuasaan Majapahit yang sudah runtuh, sehingga segala intrik bisaterjadi dan menjadi “halal” untuk dilakukan, termasuk dengan mempolitisasiajaran Syekh Siti Jenar yang memiliki dukungan massa banyak, namun tidakmenggabungkan diri dalam ranah kekuasaan Raden Fatah.
Jadi dikaitkan dengan kekuasaan Sultan Trenggono, sebagaimanatercatat dalam berbagai fakta sejarah, naiknya Sultan Trenggono sebagaipenguasa tunggal Kesultanan Demak, adalah dengan cara berbagai tipu muslihatdan pertumpahan darah. Karena sebenarnya yang berhak menjadi Sultan adalahPangeran Suronyoto, yang dikenal dengan sebutan Pangeran Sekar Seda Ing Lepen, kakaklaki-laki Sultan Trenggono yang seharusnya menggantikan Adipati Unus. “Seda IngLepen” artinya meninggal di sungai.
Sebenarnya Pangeran Suronyoto tidak meninggal di sungai, namundibunuh oleh orang-orang suruhan Pangeran Trenggono, baru setelah terbunuh,mayatnya dibuang ke sungai (Daryanto, 2009: 215-278). Kematian kakaknyatersebut diduga atas strategi Sultan Trenggono. Sultan Trenggono sendiri, padamulanya tidaklah begitu disukai oleh para adipati dan kebanyakan masyarakat, karenasifatnya yang ambisius, yang dibingkai dalam sikap yang lembut.
Salah satu tokoh penentang utama naiknya Trenggono sebagaiSultan adalah Pangeran Panggung di Bojong, salah satu murid utama Syekh SitiJenar. Demikian pula masyarakat Pengging yang sejak kekuasaan Raden Fatah belummau tunduk pada Demak. Banyak masyarakat yang sudah tercerahkan kemudian kurangmenyukai Sultan Trenggono. Mungkin oleh karena faktor inilah, maka SultanTrenggono dan para ulama yang mendekatinya kemudian memusuhi pengikut SyekhSiti Jenar. Maka kemudian dihembuskan kabar bahwa Syekh Siti Jenar dihukum matioleh Dewan Wali Songo di masjid Demak, dan mayatnya berubah menjadi anjingkudisan, dan dimakamkan di bawah mihrab pengimaman masjid. Suatu hal yangsangat mustahil terjadi dalam konteks hukum Islam, namun tentu dianggap sebagaisebuah kebenaran atas nama kemukjizatan bagi masyarakat awam.
Keberadaan para ulama “penjilat” penguasa, yang untuk memenuhiambisi duniawinya bersedia mengadakan fitnah terhadap sesama ulama, dan untukselalu dekat dengan penguasa bahkan bersedia menyatakan bahwa suatu ajarankebenaran sebagai sebuah kesesatan dan makar, karena menabrak kepentinganpenguasa itu sebenarnya sudah digambarkan oleh para ulama. Imam Al-Ghazalidalam kitab Ihya’ “Ulum al-Din menyebutkansebagai al-‘ulama’ al-su’ (ulama yangjelek dan kotor). Sementara ketika Sunan Kalijaga melihat tingkah laku paraulama pada zaman Demak, yang terkait dengan bobroknya moral dan akhlakpenguasa, disamping fitnah keji yang ditujukan kepada sesama ulama, namun bedapendapat dan kepentingan, maka Sunan Kalijaga membuatkan deskripsi secarahalus. Sesuai dengan profesinya dalam budaya, utamanya sebagai dalang, SunanKalijaga menggambarkan kelakuan para ulama yang ambisi politik dan memilikikarakter jelek sebagai tokoh Sang Yamadipati (Dewa Pencabut Nyawa) dan PendetaDurna (ulama yang bermuka dua, munafik).
Kedua tokoh tersebut dalam serial pewayangan model SunanKalijaga digambarkan sebagai ulama yang memakai pakaian kebesaran ulama;memakai surban, destar, jubah, sepatu, biji tasbih dan pedang. Pemberiankarakter seperti itu adalah salah satu cara Sunan Kalijaga dalam mencatatkansejarah bangsanya, yang terhina dan teraniaya akibat tindakan para ulama jahatyang mengkhianati citra keulamaannya, dengan menjadikan diri sebagai SangYamadipati, mencabut nyawa manusia yang dianggapnya berbeda pandangan dengandirinya atau dengan penguasa di mana sang ulama mengabdikan dirinya. Haltersebut merupakan cara Sunan Kalijaga melukiskan suasana batin bangsanya yangsudah mencitrakan pakaian keulamaan, dalil-dalil keagamaan sebagai atribut SangPencabut Nyawa. Atas nama agama, atas nama pembelaan terhadap Tuhan, dan karenadalil-dalil mentah, maka aliran serta pendapat yang berbeda harus dibungkushabis.
Gambaran pendeta Durna adalah wujud dari rasa muak SunanKalijaga terhadap para ulama yang menjilat kepada kekuasaan, bahkanaktivitasnya digunakan untuk semata-mata membela kepentingan politik dankekuasaan, menggunakan dalil keagamaan hanya untuk kepentingan dan keuntunganpribadi dengan mencelakakan banyak orang sebagai tumbalnya. Citra diri ulamayang ‘tukang’ hasut, penyebar fitnah, penggunjing, dan pengadu domba. Itulahyang dituangkan oleh Sunan Kalijaga dalam sosok Pendeta Durna.
Berbagai versi tentang kematian Syekh Siti Jenar menunjukkanbahwa tokoh Syekh Siti Jenar memang sangat kontroversional. Berbagai literaturyang ada tidak dapat memastikan tentang asal-usul keberadaannya hingga proseskematian yang dialaminya, disebabkan oleh banyak faktor dan kepentingan yangmengitarinya. Walaupun demikian, sejumlah besar keterangan yang mengisahkantentang keberadaannya memerlihatkan ajarannya yang selalu dipertentangkandengan paham para Wali, namun sekaligus tidak jarang membuat para Wali itusendiri “kagum” dan “mengakui” kebenaran ajarannya. Tentu saja, “pengakuan” dan“kekaguman” itu tidak pernah diperlihatkan secara eksplisit karena akanmengurangi “keagungan” mereka, disamping kurang objektifnya penulisan serat danbabad Jawa, yang terkait dengan Syekh Siti Jenar.
Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa dalam berabgai Seratdan Babad tersebut, akhir dari kisah Syekh Siti Jenar selalu dihiasi denganusaha-usaha intrik politik para Wali. Bisa jadi hal ini memang dilakukan olehpara ulama penjilat kekuasaan, oleh murid-murid generasi penerus para ulamayang pernah memusuhi ajaran Syekh Siti Jenar, atau para penulis kisah yang jugamemiliki kepentingan tersendiri terkait dengan motif politik, ideologi, keyakinan,dan ajaran keagamaan yang dianutnya.
Pada sisi lain, disamping disebabkan banyaknya referensi yangberbeda dalam menjelaskan kisah Syekh Siti Jenar, pemahaman mereka yang membacaakan memberikan pemahaman baru dari bacaan tersebut sehingga memperbanyakversi. Misalnya, tentang pemahaman salah satu versi mengenai asal-usul SyekhSiti Jenar yang dalam Serat Syekh SitiJenar, sebagaimana juga disadur dalam FalsafahSyekh Siti Jenar disebut “berasal dari caing (elur)”.
Sebagian penafsir mengatakan bahwa memang Syekh Siti Jenarbukanlah berasal dari manusia, namun semula ia adalah seekor cacing yangdisumpah oleh Sunan Bonang menjadi manusia. Padalah, jika cara pembacaan inidilakukan dengan cara referensi silang, kita mendapatkan penjelasan dari sumberlain, misalnya dalam Serat Seh Siti Jenaryang tersimpan di musem Radya Pustaka Surakarta, bahwa yang dimaksud “elur”(cacing) tidak lain adalah “wrejid bangsa sudra” (yang berasal dari rakyatjelata). Maksudnya Syekh Siti Jenar adalah masyarakat biasa yang berhasilmenjadi Wali, atau seorang Wali yang menjelata (menempatkan dirinya berada ditengah-tengah mansyarakat jelata) (lihat misalnya Sujamto, 2000: 87).
Sumber : K.H. Muhammad Sholikhin. TernyataSyekh Siti Jenar Tidak Dieksekusi Wali Songo. Erlangga. Boyolali: 2008.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment