Monday, August 28, 2017
10 cerita ZEN
10 Kisah Zen Yang Menginspirasi
3 FEBRUARI 2013 / ILHAM
zen
Ajaran Zen-Buddhisme seringkali disampaikan melalui kisah-kisah pendek yang menarik yang disebut Gong’an atau Koan. Banyak diantaranya yang menginspirasi dan mencerahkan.
Beberapa dari kisah itu mugkin bisa langsung dipahami, sebagian lagi butuh dicermati dan dimaknai.
Kisah-kisah berikut ini meliputi berbagai macam topik. Saya akan coba memberikan interpretasi versi saya tapi silahkan tambahkan interpretasimu sendiri, atau tambahkan kisah lainnya yang kamu tahu lewat komentar ya.
Secangkir Teh
Nan-in, seorang master Zen di Jepang pada era Meiji (1868-1912) menerima seorang profesor universitas yang ingin mempelajari Zen.
Nan-in menyajikan teh. Ia menuang cangkir tamunya hingga penuh, dan terus menuang.
Sang profesor memerhatikan air teh itu melimpah hingga ia tidak dapat lagi menahan dirinya. “Itu kepenuhan. Tidak bisa ditambah lagi!”
“Seperti cangkir ini,” kata Nan-in, “kau penuh dengan opini dan spekulasimu sendiri. Bagaimana aku bisa menunjukkanmu Zen kecuali kau mengosongkan cangkirmu lebih dulu?”
Simpan selalu ruang di hati dan pikiran untuk menerima ilmu-ilmu baru.
Beban
Dua biksu kembali pulang ke biara pada sore hari. Hujan turun dan ada genangan air di sisi jalan. Di satu tempat seorang gadis cantik berdiri tak dapat berjalan di seberang karena ada genangan air.
Biksu yang tua pergi dan menggendong gadis itu menyeberangi jalan, lalu melanjutkan perjalanannya.
Pada malam harinya biksu yang muda bertanya pada biksu yang tua, “Pak, sebagai biksu kita kan tidak boleh menyentuh wanita?”
Biksu yang tua menjawab, “Ya, saudaraku.”
“Lalu mengapa Anda menggendong wanta tadi di jalan?”
Biksu yang tua itu berkata, “Aku meninggalkannya di sisi lain jalan tadi, tapi kau masih menggendongnya.”
Pikiran meneruskan masalah meskipun itu sudah berlalu. Dari sanalah datanganya kegelisahan, ketidakpuasan dan ketidak-terimaan.
Menemukan Potongan Kebenaran
Suatu hari Mara, Si Jahat, melakukan perjalanan melewati pedesaan India dengan para pelayannya. Ia melihat seorang pria melakukan meditasi berjalan dengan wajah terangkat keatas sambil merenung. Pria itu baru saja menemukan sesuatu di tanah didepannya.
Pelayan Mara bertanya apa itu dan Mara menjawab, “Sepotong kebenaran.”
“Tidakkah ini mengganggumu jika seseorang menemukan sepotong kebenarang, oh Yang Jahat?” tanya pelayannya.
“Tidak,” jawab Mara. “Setelah ini, mereka biasanya menciptakan suatu keyakinan dari kebenaran itu.”
Apa yang kita yakini bukanlah realitas. Biarkan fakta sebagaimana adanya. Berhentilah mengembangkan keyakinan dari sesuatu yang tidak dapat kita ubah.
Sisi Seberang
Suatu hari seorang Buddhis dalam perjalanannya datang ke tepi sungai yang lebar. Menatap putus asa pada rintangan besar di hadapannya, dia berpikir berjam-jam bagaimana menyeberangi sungai itu.
Ketika dia hampir menyerah, dia melihat seorang guru besar di sisi seberang sungai. Buddhis muda itu berteriak pada sang guru, “Hai orang bijak, dapatkah kau memberitahuku bagaimana agar aku bisa sampai di seberang sungai ini?”
Guru itu berpikir sejenak lalu berteriak balik, “Anakku, kau sudah ada di seberang.”
Cara pandang kita bisa jadi berbeda dengan orang lain terhadap satu masalah yang sama. Bagi kita mungkin orang lain lebih beruntung, namun bisa saja bagi orang lain kitalah yang lebih beruntung dalam hal lain.
Benarkah Demikian?
Master Zen Hakuin dipuja oleh tetangga-tetangganya sebagai orang yang hidup dalam kemurnian.
Gadis Jepang yang cantik yang orangtuanya memiliki toko makanan tinggal di dekatnya. Tiba-tiba, tanpa peringatan, orangtua gadis itu menemukan anak mereka hamil.
Ini membuat orangtuanya sangat marah. Gadis itu tidak mau mengaku siapa ayahnya, tapi setelah banyak dipermalukan akhirnya dia mengatakan yang menghamilinya adalah Hakuin.
Orangtua yang marah itu pergi ke sang master. Sang master hanya mengatakan, “Benarkah demikian?”
Ketika bayinya lahir, orangtua itu membawanya ke Hakuin, yang sekarang dianggap sebagai sampah masyarakat oleh warga desa. Mereka meminta Hakuin merawat anak itu sebagai pertanggungjawaban. “Benarkah demikian?” kata Hakuin dengan tenang ketika ia menerima anak itu.
Setahun kemudian gadis itu akhirnya mengakui pada orangtuanya, bahwa ayah bayinya yang sebenarnya adalah seorang pria muda yang bekerja di pasar ikan.
Orangtua gadis itu pergi menemui Hakuin dan meminta maaf, lalu meminta kembali sang bayi.
Hakuin menyerahkan anak itu sambil berkata, “Benarkah demikian?”
Apa yang kita ketahui atau tidak ketahui bisa membuat kita bertindak keliru terhadap orang lain. Tapi di sisi lain, ketika difitnah atau disalahpahami, lakukanlah apa yang baik dilakukan, jangan paksa orang lain untuk mengubah pemikirannya, biarkan mereka menyadari sendiri kekeliruannya.
Mungkin
Pada jaman dulu ada seorang petani tua yang mengerjakan sawahnya selama bertahun-tahun. Suatu hari kudanya melarikan diri. Mendengar berita itu, para tetangganya berkunjung. “Sial sekali ya,” kata mereka menunjukkan simpati.
“Mungkin,” kata pria tua itu.
Hari berikutnya, putranya yang sedang mencoba menunggangi salah satu kuda liar, terlempar jatuh dan mematahkan kakinya. Para tetangga datang lagi untuk menunjukkan simpati atas ketidakberuntungannya.
“Mungkin,” kata petani itu.
Hari setelahnya, pejabat militer datang ke desa untuk menarik anak-anak muda menjadi pasukan militer. Melihat putra petani itu patah kakinya, mereka melewatkannya. Para tetangga memberi selamat pada petani itu betapa baiknya keadaan telah berubah.
“Mungkin,” kata si petani.
Keberuntungan itu relatif bagi setiap orang. Mungkin bagi orang lain, pak tua itu beruntung karena anaknya tidak diikutkan wajib militer, tapi mungkin bagi petani itu sendiri kudanya masih hilang dan anaknya masih menderita patah kaki. Setiap peristiwa, baik ataupun buruk, memiliki hikmah dibaliknya.
Pemanjat Tebing
Suatu hari ketika berjalan melewati hutan seorang pria bertemu dengan seekor harimau yang ganas. Dia lari dan berhenti di pinggir sebuah tebing. Putus asa untuk menyelamatkan nyawanya, dia memanjat turun menggunakan sulur tanaman dan menjuntai diatas jurang yang mematikan.
Ketika ia menggantung disana, dua ekor tikus muncul dari sebuah lubang di tebing itu dan mulai menggigiti sulurnya.
Tiba-tiba pria itu melihat sebuah stroberi liar pada sulur itu. Dia memetiknya dan menggigitnya di dalam mulut. Rasanya sangat lezat!
Saya nggak yakin bagaimana memaknai kisah ini, tapi yang pasti lucu mbacanya. 😀 Mungkin saja kisah yang menggelitik ini membicarakan bagaimana pikiran mudah sekali dikendalikan dan dialihkan oleh sensasi rasa takut, rasa nikmat, dan lain-lain. Padahal belum tentu harimau itu akan menyerangnya, dan rasa nikmat stroberi membuat dia kehilangan fokus dari usaha menyelamatkan hidupnya. Silahkan beri interpretasimu sendiri.
Orang Buta dan Gajah
Sejumlah warga kota sedang beradu argumen tentang Tuhan dan agama yang berbeda-beda, masing-masing tidak setuju pada jawaban yang biasa. Maka mereka mendatangi Buddha untuk mencari tahu seperti apa Tuhan itu sebenarnya.
Sang Buddha menyuruh murid-muridnya untuk mengambil sekumpulan besar gajah dan empat orang buta. Ia kemudian membawa keempat orang buta itu ke dekat gajah dan menyuruh mereka mencari tahu bagaimana rupa gajah itu.
Orang buta pertama menyentuh kaki gajah dan mengatakan bahwa itu “kelihatan” seperti sebuah pilar. Orang buta kedua menyentuh perut gajah dan mengatakan gajah itu seperti dinding.
Orang buta ketiga menyentuh telinga gajah dan mengatakan gajah itu seperti sepotong kain. Orang buta keempat memegang ekor gajah dan mendeskripsikan gajah seperti sepotong tali.
Keempatnya kemudian berargumen tentang “wujud” seekor gajah.
Sang Buddha berkata pada orang-orang kota itu, “Setiap orang buta itu menyentuh gajah tapi masing-masing memberikan deskripsi yang berbeda tentang hewan itu. Jawaban mana yang benar?”
Tuhan bisa disebut dengan banyak nama dan sifat menurut agama dan kebudayaan yang berbeda. Tidak perlu berargumen apalagi sampai menjelek-jelekkan agama orang lain. Cukuplah mengimani Tuhan dengan ajaran yang kita anut masing-masing.
Benar dan Salah
Bankei, seorang master Zen, mengadakan meditasi minggu-pengasingan, murid-murid dari berbagai belahan Jepang pun datang untuk mengikutinya. Dalam salah satu pertemuan seorang murid tertangkap mencuri. Masalah ini dilaporkan kepada Bankei dengan permintaan agar si pelaku dikeluarkan. Bankei menolah kasus itu.
Kemudian murid itu tertangkap dalam tindakan yang sama, lagi-lagi Bankei tidak mengindahkan masalah tersebut. Hal ini membuat marah murid-murid lainnya, yang kemudian menarik petisi meminta pengeluaran pencuri itu, menyatakan bahwa jika tidak mereka semua akan keluar.
Ketika Bankei membaca petisi tersebut ia memanggil semua orang. “Kalian adalah saudara-saudaraku yang bijaksana,” katanya. “Kalian tahu apa yang benar dan apa yang salah. Kalian bisa pergi ke tempat lain untuk mempelajarinya jika mau, tapi saudara kita yang malang ini bahkan tidak tahu apa yang benar dan salah. Siapa yang akan mengajarinya jika bukan aku? Aku akan membiarkannya disini bahkan jika kalian semua pergi.”
Tumpahan airmata membasahi wajah murid yang mencuri tadi. Semua keinginannya untuk mencuri pun hilang.
Janganlah main hakim sendiri. Hanya karena kita tahu apa yang benar, bukan berarti orang yang melakukan kesalahan tidak boleh mendapatkan kesempatan untuk memperbaiki diri.
Tidak Ada Yang Nyata
Yamaoka Tesshu, ketika masih pelajar Zen muda, telah mengunjungi banyak master Zen. Dia memanggil Dokuon dari Shokoku.
Ingin menunjukkan hasil yang dicapainya, ia mengatakan, “Pikiran, Buddha, dan makhluk yang berperasaan, tidaklah nyata. Sifat sejati fenomena adalah kekosongan. Tidak ada kesadaran, tidak ada delusi, tidak ada orang bijaksana, tidak ada kesedangan. Tidak ada memberi dan tidak ada menerima.”
Dokuon, yang sedang merokok dengan tenang, tidak mengatakan apa-apa. Tiba-tiba dia memukul Yamaoka dengan pipa bambunya. Hal ini membuat anak muda itu cukup marah.
“Jika tidak ada yang nyata,” kata Doukuon, “darimana rasa marahmu itu berasal?”
Ajaran yang umum dalam Zen adalah bahwa segalanya adalah sama dengan ilusi dan tidak nyata. Mungkin dari kisah ini bisa dimaknai bahwa ilmu yang kita miliki cukuplah diamalkan sendiri sebaik mungkin, tidak perlu dipertunjukkan kepada orang lain agar mendapat pengakuan. Kita tidak bisa menyamaratakan segalanya berdasarkan apa yang kita pikir benar, sebab segalanya di alam memiliki sifat dan mekanismenya sendiri yang selalu dapat dipelajari. Kisah ini sangat sederhana namun memiliki makna yang kompleks. Makna lainnya mungkin adalah, kalo kita datengin seorang guru besar hanya untuk menunjukkan kita sudah belajar banyak, kita bakal dihantem pake pipa bambu. 😆 Silahkan menambahkan interpretasimu sendiri ya.
Tambahan – Mengajari Kemewahan
Pada masa-masa awal di Jepang, lentera bambu-kertas digunakan dengan lilin didalamnya. Seorang pria buta, mengunjungi seorang teman pada suatu malam, ditawarkan sebuah lentera untuk dibawa pulang.
“Aku tidak butuh lentera,” katanya. “Kegelapan atau cahaya sama saja bagiku.”
“Aku tahu kau tidak butuh lentera untuk menunjukkan jalanmu,” ujar temannya. “Tapi jika kau tidak membawa satu, orang lain bisa menabrakmu. Jadi kau harus mengambilnya.”
Orang buta itu pun pergi membawa lentera dan sebelum dia berjalan jauh seseorang menabraknya. “Lihat kemana jalanmu!” teriaknya pada orang asing itu. “Tidak bisakah kau lihat lentera ini?”
“Lilinmu mati, saudaraku,” ujar orang asing itu.
Kita tidak dapat mengajari orang buta cara menggunakan lentera. Sama seperti kita tidak tahu pasti jika memberikan sesuatu pada orang lain, apakah orang itu bisa memanfaatkannya secara maksimal atau tidak membuat hidupnya jadi lebih baik. Jika mau, ajarilah mereka bagaimana menggunakannya dengan benar. “Beri orang goa ikan, maka dia bisa makan selama sehari. Ajari orang goa cara menangkap ikan, maka dia bisa makan berhari-hari.”
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment